Oleh Muhammad Nuh
Kalau diibaratkan hidup berumah tangga seperti
mengendarai bus, peran ganda memang tidak bisa dipungkiri. Adakalanya kondektur
merangkap jadi sopir. Dan adakalanya pula, sopir berperan ganda sebagai
kondektur.
Hidup berpasangan memang penuh warna-warni.
Terlebih ketika sebuah pasangan telah teranugerahi buah hati. Pelangi hidup
jadi kian semarak. Dan tiap warna memberikan kenangan tersendiri yang sulit
terlupakan.
Di antara warna itu adalah ketika seorang suami
ingin merasakan repotnya jadi seorang isteri. Ini otomatis menyangkut beban
isteri pada anak-anaknya. Apa saja. Mulai masak, mengurus anak, menata perabot
rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, serta menampung keluhan anak-anak.
Mungkinkah? Jawaban sebenarnya bukan sekadar
mungkin, tapi harus. Karena semua tugas itu memang terpikul di pundak suami.
Suamilah yang paling bertanggung jawab atas semua beban hidup keluarga.
Semantara isteri hanya sebagai kepanjangan tangan suami.
Buat suami yang mampu, mereka menyediakan para
pembantu buat tugas-tugas rumah seperti itu. Ada juru masak, tukang cuci,
perawat anak, dan tukang kebun. Tapi, buat yang kantongnya pas-pasan, masih ada
cara lain. Mau tidak mau, suami mesti terjun mengurus seisi rumah. Setidaknya,
itulah yang kini dialami Pak Hasan.
Bapak lima anak ini sadar betul kalau tugas isteri
itu sangat berat. Belum lagi kesibukan sosial di masyarakat. Dan kesibukan luar
itu bisa datang dari dua arah: sebagai pelaku dan sebagai peserta. Kalau dua
sebagai itu tergabung, kesibukan luar bisa berlipat-lipat.
Buat Pak Hasan, seorang isteri adalah aset keluarga
yang sangat mahal. Itulah kenapa ia bukan sekadar mengikhlaskan isterinya aktif
di masyarakat, bahkan memberikan semangat ketika hasrat aktif itu mulai redup.
Kalau sudah begitu, Pak Hasan mesti siap dengan urusan rumah. “Ah, cuma masak
ama nyuci ini lah. Gampang!” tekad Pak Hasan sambil menatap sang isteri pergi.
Mulailah ia repot-repot memasak mie instan. Mie
siap, telor ada, air dalam panci mulai tampak mendidih. Tapi…. Sesekali Pak
Hasan menoleh ke arah anak-anak yang tak sabar menanti. Ada yang mulai
menangis, ada yang teriak-teriak, ada juga yang sibuk berebut piring dan
sendok. “Sabar, Nak!” suara Pak Hasan menambah riuh suasana.
Sejenak, ia seperti teringat sesuatu. Tatapannya
tiba-tiba begitu tajam ke arah dua benda di hadapannya: mie dan telor. “Eh iya.
Mana yang lebih dulu masuk, ya. Mie apa telor? Lha, saya kok jadi bingung,”
suara spontan Pak Hasan tiba-tiba. Sementara, suara tangis dan teriakan
anak-anaknya kian nyaring. Di luar dugaan, luapan air mendidih lebih dulu
mematikan kompor sebelum Pak Hasan mengambil keputusan: antara mie dan telor.
Pernah juga Pak Hasan berepot-repot memandikan tiga
anaknya yang masih balita. Sementara dua anaknya yang di SD sudah berangkat ke
sekolah. Satu anaknya yang akan mandi tampak menangis, “Nggak mau ayah. Dingin.
Ani nggak mau mandi!” Sedang di kamar mandi sudah tampak dua anaknya yang lain
sedang guyur-guyuran dengan baju masih melekat di badan. “Hati-hati, Nak. Nanti
masuk kuping!” teriak Pak Hasan sambil menggiring satu anaknya yang masih
menangis ke kamar mandi.
Sesaat Pak Hasan terdiam. Ia seperti mengingat
sesuatu, “Ah iya, sabun mandinya habis.” Pak Hasan tampak bingung. Nggak
mungkin memandikan anak dengan bersih kalau nggak dengan sabun. Tapi, siapa
yang mau pergi ke warung. Tak ada orang lain kecuali dia dan tiga anaknya yang
sedang mandi. Kalau ditinggal pergi, ia khawatir anak-anaknya terjatuh. Duh,
gimana dong? Pak Hasan tambah bingung.
Sejenak, matanya menangkap sesuatu di bak pencuci
piring. Ah, itu dia. Pak Hasan bergegas mengambil sabun colek yang biasa
digunakan isterinya buat cuci piring. “Yah, masih sama-sama sabun,” ucapnya
sambil menghampiri anak-anaknya yang mulai kedinginan. Satu per satu, anak-anak
diolesi sabun, dibilas untuk kemudian digosok dengan handuk. Mandi pun selesai.
Mulailah Pak Hasan menyiapkan baju salin anak-anak.
Ia teliti satu per satu baju yang ada. Mulai dari kecocokan dengan cuaca yang
musim hujan, warna, dan keserasian atasan dan bawahan. Saat itulah ia kembali
dihibur dengan suara merdu tangis anak-anaknya. Kali ini, bukan cuma satu. Tapi
ketiga-tiganya. “Aduh, gatal ayah! Badan adek gatal nih!”
Mendengar itu, spontan Pak Hasan menghampiri
anak-anaknya. Ketiganya tampak sibuk menggaruk-garuk tangan, badan, dan kaki.
“Kamu kenapa, Nak?” suara Pak Hasan agak panik. Tak ada jawaban kecuali tangis
yang kian menderu. “Lha, kenapa ya? Jangan-jangan…sabun colek itu. Ya Allah!”
Pak Hasan menatap tiga anaknya yang sedang tidur
siang. Sesekali, ia kembali mengolesi obat gatal di kaki sang anak yang hilang
karena tergaruk. “Kasihan anak-anakku!” suara batin Pak Hasan sesaat setelah ia
beranjak ke ruang tengah.
Dari ruang itulah ia bisa melihat hampir separuh
isi rumahnya. Tampak ruang tamu yang acak-acakan. Dua kursi terbalik, dan
taplak meja terlihat menjuntai di atas lemari pajangan. Belum lagi pemandangan
lantai yang begitu semarak dengan mie instan mentah yang berserakan.
Ia pun menoleh ke ruang dapur. Tampak di sana
piring-piring kotor saling bertumpukan. Dua gelas plastik tergeletak di lantai
dengan genangan larutan warna coklat. Tak jauh dari situ, baju dan celana dalam
anak-anak berserakan.
Saat itu, Pak Hasan teringat sesuatu. Ia kian sadar
betapa tugas seorang isteri tidak mudah. Berat! Ah, ternyata lebih mudah jadi
sopir daripada berperan sebagai kondektur.
Hikmah : Menjadi seorang istri itu tidak semudah yang kita bayangkan. Jadi, jangan sia-siakan istrimu dan jangan engkau sakiti dia karena di sebenarnya adalah orang yang perkasa dan tanpa dia kamu tidak akan bisa menata hidup dengan indah.
Nb : ayo cepat nikah :) :) :)
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!