Oleh : Cerpen Islami
Awalnya, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang
diselenggarakan di rumahku sendiri. Gadis itu sangat berbeda dengan cewek-cewek
lain yang sibuk berbicara dengan laki-laki dan berpasang-pasangan. Sedangkan
dia dengan pakaian muslimah rapi yang dikenakannya membantu mamaku menyiapkan
hidangan dan segala kebutuhan dalam acara tersebut. Sesekali gadis itu bermain
di taman bersama anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa lembutnya dia dengan
senyuman manis kepada anak-anak.
Dari sikapnya itu aku tertarik untuk mengenalnya. Akhirnya dengan pede-nya keberanikan diri untuk mendekatinya dan hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman dengannku, dan cuma mengatakan, “Maaf...” dan berlalu begitu saja meninggalkanku.
Dari sikapnya itu aku tertarik untuk mengenalnya. Akhirnya dengan pede-nya keberanikan diri untuk mendekatinya dan hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman dengannku, dan cuma mengatakan, “Maaf...” dan berlalu begitu saja meninggalkanku.
Betapa malunya aku terhadap teman-teman yang berada di
sekitarku.“Ini cewek kok jual mahal banget !” Padahal begitu banyak cewek yang
justru berlomba-lomba mau jadi pacarku. Dia, mau kenalan saja tidak mau !” ujarku.
Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut. Lalu aku mencari
tahu tentangnya. Ternyata dia adalah anak tunggal sahabat rekan bisnis papa.
Setiap ada acara pertemuan di rumah gadis itu, aku selalu ikut bersama papa.
Gadis itu bernama Nina, kuliah di Fakultas Kedokteran dan
dia anak yang tidak suka berpesta, berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek
kebanyakan di kalangan kami. Aku pun jarang melihatnya jika aku pergi ke
rumahnya; dengan berbagai alasan yang kudengar dari pembantunya: sakitlah, lagi
mengerjakan tugas, atau kecapaian. Pokoknya, dia tidak pernah mau keluar.
Hingga suatu hari aku dan papa sedang bertamu ke rumahnya.
Pada saat itu, Nina baru saja pulang dengan busana muslimahnya yang rapi,
terlihat turun dari mobil. Namun belum jauh melangkah dia pun terjatuh pingsan
dan mukanya terlihat sangat pucat. Kami yang berada di ruang tamu bergegas
keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami untuk
menghubungi dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus dirawat di rumah
sakit.
Keesokan harinya, aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk
menjenguknya. Betapa kagetnya aku ketika kutahu Nina terkena leukimia (kanker
darah). Aku bertanya, “Kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami
hal itu ?”. Perasaan kesalku padanya kini berubah menjadi kasihan dan khawatir.
Setiap usai kuliah, kusempatkan untuk datang menjenguknya. Aku mendapatinya
sering menangis sendirian. Entah itu karena tidak ada yang menjaganya atau
karena penyakit yang diderita.
Beberapa hari di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap
kali aku masuk. Aku pun mendatanginya di rumah, tapi dia tidak pernah mau
keluar menemuiku dan hanya mengurung diri di dalam kamar. Aku tidak menyerah
begitu saja, kucoba menelpon Nina dan berharap dia mau bicara denganku. Namun,
dia tetap tidak mau mengangkat telpon dariku, lalu kukirimkan SMS padanya agar
dia mau menjadi pacarku, tetapi tidak ada balasan malah HP-nya dinonaktifkan
semalaman.
Keesokan harinya aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta
maaf atas kelancanganku. Ternyata ia akan berangkat ke Makasar, ke kampung
orang tuanya. Karena orang tuanya tak dapat mengantarnya, aku pun menawarkan
diri untuk mengantarnya, tapi Nina lebih memilih naik taksi dengan alasan tidak
mau merepotkan orang lain. Sebelum naik ke mobil, dia menitipkan kertas untukku
kepada mamanya.
Alangkah hancur hatiku ketika membaca sebait kalimat yang
berbunyi, “Maaf saat ini aku hanya ingin berkonsentrasi kuliah.” Hatiku remuk
dan aku pulang dengan perasaan kesal sekali. Ini pertama kalinya aku ingin
pacaran, tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan hubungan
seperti pacaran itu karena begitu banyak dampak negatifnya, sampai ada yang
rela bunuh diri karena ditinggalkan kekasihnya –na’udzubillahi min dzalik.
Namun entah mengapa ketika aku melihat Nina hatiku pun
tergoda untuk menjalin hubungan itu. Sejak perpisahan itu, aku tidak pernah
lagi bertemu dengannya sampai gelar sarjana aku raih. Lalu aku pun bekerja di
perusahaan milik keluargaku sebagai satu-satunya ahli waris. Melihat
ketekunanku dalam bekerja, papa Nina ,menyukaiku hingga hubungan kami menjadi
akrab dan kuutarakanlah maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya, dan ternyata
papa Nina setuju untuk menjadikanku sebagai menantunya.
24 Oktober 2006, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, aku
dan orang tuaku bersilaturahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud untuk
membicarakan perjodohan antara aku dan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru
dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat
pucat, lemah, dan senyumannya seakan menghilang dari bibirnya. Hari itu orang
tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena
orang tuanya akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau
meladeniku.
Suatu hari aku mendapati Nina terlihat kesakitan, terlihat
darah keluar dari hidung dan mulutnya. Aku bermaksud untuk membantu mengusap
darah dan keringat yang ada di wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku
pada saat aku menyentuh wajahnya. Betapa
kaget diriku dibuatnya, aku tidak menyangka sama sekali Nina
akan manamparku. Sungguh betapa istiqomahnya dia dalam menjaga kehormatan untuk
tidak disentuh laki-laki yang bukan muhrimnya. Saat itu aku belum mengetahui
tentang masalah ini dalam agama.
Kejadian tersebut secara tak sengaja terlihat mama Nina maka
Nina pun dimarahi habis-habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Kulihat Nina segera melepas infusnya dan berlari menuju kamar mandi. Nina pun
mengurung diri di kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak pintu
kamar mandi dan kami dapati Nina tergeletak di lantai tak sadarkan diri karena
terlalu banyak darah yang keluar.
Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf
kepadanya atas kejadian tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Aku pun
bertambah bingung apa yang mesti aku lakukan untuk menenangkannya. Tanpa pikir
panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan berlari
keluar dari kamar menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak hingga
menjadikan orang-orang memukulku karena menyangka aku mengganggu Nina. Karena
itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa melihatnya dari
kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina beranjak untuk
melaksanakan shalat shubuh di masjid, aku pun turut shalat. Namun setelah
shalat, tiba-tiba Nina menghilang entah kemana.
Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama
berselang kulihat banyak kerumunan orang dan ternyata Nina sudah tak sadarkan
diri tergeletak dengan HP berada di sampingnya, sepertinya dia bosan telah
berbicara dengan seseorang. Keadaan Nina saat itu sangat kritis sehingga
pernafasannya harus dibantu dengan oksigen. Kata dokter, paru-paru Nina basah
yang mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan
bingung aku berdoa dengan menatap wajahnya yang pucat pasi...
Tiba-tiba ada sebuah SMS yang masuk ke HP Nina, tanpa sadar
aku pun membaca dan membalas SMS tersebut. Aku juga membuka beberapa SMS yang
masuk ke HP-nya dan aku sangat terharu dengan isinya, tenyata banyak sekali
orang yang menyayanginya. Di antaranya adalah orang yang bernama Ukhti. Dulu
sebelum aku mengetahui Ukhti adalah panggilan untuk saudari perempuan, aku
sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti itu adalah pacar Nina yang menjadi
alasan dia menolakku. Setelah Nina tersadar dari pingsannya, aku menunjukkan
SMS yang dikirimkan saudari-saudarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku
sudah membaca dan membalas SMS dari saudari-saudarinya. Dia pun akhirnya
melarangku untuk memegang HP-nya apalagi mengangkat atau menghubungi
saudari-saudarinya.
Namun, tetap saja aku sering ber-SMS-an dengan
saudari-saudarinya untuk mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu. Dari
sinilah aku mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi
berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk berpacaran
serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada hal-hal seperti itu
dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang non Muslim.
Aku tahu juga Nina mencari seorang ikhwan yang mencintai
karena Alloh bukan atas dasar hawa nafsu. Akhirnya aku tahu kan sikap Nina
selama ini semata-mata dia hanya ingin menjalankan syariat Islam secara benar.
Hari berlalu dan aku terus belajar sedikit demi sedikit tentang Islam dari Nina
dan saudari-saudarinya, terutama dalam melaksanakan shalat lima waktu tepat
pada waktunya. Saat itu aku merasakan ketenangan dan ketentraman selama
menjalankannya dan menimbulkan perasaan rindu kepada Alloh untuk senantiasa
beribadah kepada-Nya.
Niatku pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak
terjadi fitnah, namun kondisi Nina semakin memburuk. Dia selalu mengigau
memanggil saudari-saudarinya yang dicintainya karena Alloh.....
Melihat hal itu, aku membawanya ke kota Makassar, kampung
mama kandung Nina untuk mempertemukannya dengan saudari-saudarinya, Qadarulloh
(atas kehendak Alloh), aku tidak berhasil mempertemukan mereka. Yang ada
kondisi Nina semakin parah dan penyakitku juga tiba-tiba kambuh sehingga aku
pun haus dirawat di rumah sakit. Orang tua Nina datang dan membawanya kembali
ke kota Makassar tanpa sepengetahuanku karena pada saat itu aku juga diopname.
Di kota Makassar, Nina diawasi dengan ketat oleh papanya,
karena papa Nina kurang suka dengan akhwat, apalagi yang bercadar. Rumah sakit
dan rumah yang ditempati Nina dirahasiakan. Dan Nina pun tak tahu di manakah ia
berada. Karena kondisinya masih lemah, diapun tak bisa berbuat apa-apa, bahkan
ia kadang dibius, apalagi ketika akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat
yag satunya agar tidak tahu di mana keberadaaannya, karena papanya tidak ingin
ada akhwatyang menjenguk Nina. Sampai HPnya pun diambil dari Nina.
Namun, karena Nina masih mempunyai HP yang ia sembunyian
dari papanya, sehingga beberapa kali Nina berusaha kabur untuk menemui
saudari-saudarinya, akhirnya Nina dikurung di dalam kamar. Mendengar hal itu,
aku langsung menyusul Nina ke Makassar dan aku sempat bicara dengannya dari
balik pintu. Nina menyuruhku untuk menemui seorang ustadz di sebuah masjid di
kota itu. Dari pertemuanku dengan ustadz tersebut aku pun diajak ta’lim
beberapa hari dan aku menginap di sana.
Papa Nina menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia pun
dimarahi. Setibanya di rumah, aku jelaskan duduk perkaranya kepada papa Nina,
bahwa ia tidak bersalah dan aku mengatakan agar pernikahan kami dipercepat.
Hari Kamis, 24 November 2006. Kami melangsungkan pernikahan
dengan sangat sederhana. Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orangtua kami
beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung mengantar ustadz
sekalian shalat dhuhur. Betapa senangnya hatiku, akkhirnya aku bisa merasakan
cinta yang tulus karena Alloh. Semoga kami bisa membentuk keluarga sakinah
mawaddah, wa rahmah dan senantiasa dalam ketaatan kepada Alloh.....Itulah doaku
saat itu.
Sepulang dari mengantar ustadz, perasaan bahagia itu seakan
buyar mendapati Nina yang baru saja menjadi istriku tergeletak di lantai, dari
hidung dan mulutnya kembali berlumuran darah. Dan tangannya terlihat ada
goresan. Kami langsung membawanya ke rumah sakit, diperjalanan, kondisi Nina
terlihat sangat lemah. Terdengar suaranya memanggilku dan berkata agar aku
harus tetap di jalan yang diridhai-Nya sambil memegang erat tanganku dengan
tulus, air mataku tak tertahankan melihat keadaan Nina yang terus berdzikir
sambil menangis.....Dia juga selalu menanyakan saudari-saudarinya dimana ?
Setibanya di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa tangan
Nina tergores. Aku pun menulis SMS kepada saudari-saudari Nina. Ternyata,
tangan Nina tergores ketika hendak menemui saudari-saudainya dengan keluar dari
kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar melalui jendela sehingga
menyebabkan tangannya tergores. Nina tak kunjung sadar hingga larut malam, aku
pun tertidur dan tidak menyadari kalau Nina bangkit dari tempat tidurnya. Dia
ingin sekali menemui saudari-saudarinya dan dia tidak menyadari kalau hari
telah larut malam. Dia Cuma berkata, “Pengin ketemu saudariku karena sudah tak
ada waktu lagi.” Berhubung Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah
bebrapa saat melangkah.
Aku benar-benar kaget dan bingung mau memanggil dokter tapi
tidak ada yang menemani Nina. Akhirnya, aku menghubungi salah seorang
saudarinya untuk menemani. Setelah aku dan dokter tiba, Nina sudah tidak
bernafas dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh dan hancurlah harapanku melihat
Nina tidak lagi berdaya.... Dokter menyuruhku keluar. Pada saat itu kukira Nina
telah tiada, makanya aku segera menulis SMS kepada saudari Nina untuk
memberitahu bahwa Nina telah tiada. Namun begitu dokter keluar, masya Alloh !
Denyut jantung Nina kembali beredetak dan ia dinyatakan
koma. Aku hendak memberi kabar kepada saudari Nina tapi baterai HP-ku habis dan
tiba-tiba penyakitku pun kambuh lagi sehingga aku harus diinfus juga.....
Jam 11.30, perasaanku mengatakan Nina memangilku, maka aku
segera bangkit dari tempat tidur dan melepas infus dari tanganku menuju kamar
Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan dengan kumandang adzan shalat Jum’at.
Sembari menjawab adzan, aku terus menatap wajah Nina berharap dia akan membuka
matanya.
Begitu lafadz laa ilaaha illallah, suara mesin pendeteksi
jantung berbunyi, menandakan bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil
dokter, tapi qadarulloh istriku sayang telah pergi untuk selama-lamanya dari
dunia ini. Nina langsung dimandikan dan dishalatkan selepas shalat Jum’at, lalu
diterbangkan ke rumah papanya di Malaysia. Untuk terakhir kalinya kubuka kain
putih yang menutupi wajah Nina. Wajahnya terlihat berseri.....
Aku harus merelakan semua ini, aku harus kuat dan menerima
takdir-Nya. Teringat kata-kata Nina, “Berdoalah jika memang Alloh memangilku
lebih awal dengan doa, “Ya Alloh, berilah kesabaran dan pahala dari musibah
yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik.” Setelah pemakaman, aku
langsung balik ke Jakarta karena kondisiku yang kurang stabil...Astaghfirullah
!!! aku lupa memberitahu saudari-saudari Nina. Mungkin karena aku terlalu larut
dalam kesedihan, hingga secara spontanitas aku menghubungi mereka dan
menyampaikan bahwa Nina benar-benar talah tiada. Aku tahu pasti, mereka pasti
sedih dengan kepergian saudari mereka yang mereka cintai karena Alloh. Dari
ketiga saudari Nina, ada seorang yang tidak percaya dan sepertinya dia sangat
membenciku. Entah, mengapa sikapnya seperti itu ?
Sekiranya mereka tahu, bahwa sebelum kepergiannya, Nina
selalu memanggil nama mereka, tentulah mereka semakin sedih. Dalam HP Nina
terlihat banyak SMS yang menunjukkan betapa indahnya ukhuwah dengan
saudari-saudarinya. Semoga saudari-saudari Nina memaafkan kesalahannya dan
kesalahan diriku pribadi.
“Salam sayang dari Nina tu kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah
serta akhwat di Makassar. Teruslah berjuang menegakkan dakwah ilallah. Syukran
atas perhatian kalian....”
*****
Tak beberapa lama setelah kisah ini dimuat di Media Muslim
Muda Elfata, redaksi Elfata menerima SMS dari seorang ukhti, saudari Nina. Isi
SMS tersebut adalah, “Afwan , mungkin perlu Elfata sampaikan kepada pembaca
mengenai kisah ‘Akhirnya Cintaku Berlabuh karena Alloh’ di mana Kak Nina telah
meninggal dan kini Kak Adhit pun telah tiada. Kurang lebih 2 pekan (Kak Adhit
–red) dirawat di rumah sakit karena penyakit pada paru-parunya. Sebelum sempat
dioperasi, maut telah menjemputnya. Ana menyampaikan hal ini karena masih
banyak yang mengirim salam, memberi dukungan ke Kak Adhit yang kubaca di Elfata
dan beberapa orang yang kutemui di jalan juga selalu bertanya, Kak Adhit
bagaimana ? Ana salah satu ukhti dalam cerita tersebut...Syukran.”
PERCIK RENUNGAN
Subhanalloh ! Kisah Adhit dan Nina di atas dapat kita
jadikan sebuah cermin untuk berkaca. Renungkanlah keteguhan Nina untuk tak
meladeni tawaran cinta asmara yang tak terselimuti indahnya syariat. Padahal
Nina adalah seorang yang sedang membutuhkan dukungan, pertolongan, dan sandaran
bahu tempat menangis. Nina berprinsip, meski dalam situasi sesulit apapun,
kemurnian syariat tetap harus dijaga dan diamalkan.
Gelombang kesulitan tak harus menjadikan kita surut dalam
berkonsisten dengan syariat ini. Bahkan bisa jadi kesulitan demi kesulitan yang
kita alami menjadi parameter seberapa jauh kita telah mengamalkan ajaran agama
ini. Di lain sisi, ketidaktahuan seseorang akan syariat ini seringkali
menjadikan pelakunya bertindak tanpa adanya rambu-rambu yang telah dicanangkan
agama.
Namun, bisa jadi ketidaktahuan akan syariat ini menjadi
titik awal seseorang merasakan indahnya agama dan manisnya iman sebagaimana
yang terjadi pada Adhit, ikhwan yang menceritakan kisahnya ini. Semoga Alloh
merahmati mereka, menerima ruh mereka berdua dan
menjadikan mereka berdua termasuk hamba-hamba-Nya yang
shalih yang dijanjikan surga-Nya. Amiin.
SELESAI
...
Tags:
Cerpen,
Cerpen Islami
...
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!