Oleh Helvy Tiana Rosa
Seorang lelaki tua dengan langkah tertatih-tatih memasuki sebuah kota. Wajahnya kusut, matanya liar dan pakaiannya kumal. Beberapa orang yang berpapasan dengannya segera menyingkir.
Di suatu tempat, di bawah sebuah pohon
setua dirinya, lelaki itu tersungkur. Perlahan ia mencoba bangkit dan kembali
memandangi orang yang lalu lalang di kota itu.
Lelaki Tua: “Tolong…! Tolonglah aku!
Tolong…!” (mengiba, mengulang-ulang perkataannya)
Dua lelaki muda melintas di hadapannya.
Memandang sekilas kemudian menghampirinya. Lelaki tua itu terus
merintih-rintih. Beberapa orang lewat begitu saja tanpa peduli.
Lelaki 1: “Ada apa, Pak? Ada apa?”
(memegang tangan, membimbing lelaki tua itu bangkit)
Lelaki 2: “Ya, apa ada yang bisa kami
bantu?” (prihatin)
Lelaki Tua: “Tolonglah saya. Tolong!
Saya…saya mencari sesuatu yang telah tak ada lagi di kota kami.”
Dua lelaki muda itu saling berpandangan
heran.
Lelaki 1: “Sesuatu yang tak ada lagi di
kota bapak?”
Lelaki Tua: “Ya…,aku mencari sesuatu
yang sangat berharga, yang tiba-tiba saja tercerabut dari wajah semua orang di
kota kami.” (manggut-manggut, sedih)
Lelaki 1 dan lelaki 2: “Apa itu…?”
Lelaki Tua: (menerawang penuh harap)
“Sebuah senyuman.”
Lelaki 1 dan 2: “Senyuman?”
Lelaki 1: “Aneh. Bapak bilang bapak
mencari sebuah senyuman. Apa saya tidak salah dengar?”
Lelaki Tua: (menggeleng-gelengkan
kepala) “Ya, aku sudah berjalan begitu jauh, mencari sebuah senyuman.”
Lelaki 2: “Jangan bergurau! Semua
manusia diciptakan dengan wajah. Di dalam wajah kita, ada bibir yang bisa
digerakkan begini, begini dan begitu (menggerakkan bibirnya ke depan, ke
samping dan sebagainya dengan kesal).
Lelaki 1: “Ya, bahkan orang segila apa
pun masih memiliki senyuman. Aku benar-benar tak mengerti. ”
Lelaki Tua: “Kalau begitu kalian
menganggapku lebih dari gila!? (sewot). Dengar, aku tidak mengada-ada! Semua
orang di kotaku sudah tak bisa lagi tersenyum! Titik!”
Lelaki 1 dan 2 saling berpandangan
kembali.
Lelaki 1 : (menarik napas panjang,
menggaruk-garuk kepala yang tak gatal) “ Baiklah. Sesuatu terjadi tentu ada
sebabnya. Mungkin aku pun telah gila, tetapi aku ingin tahu hal apa yang
menyebabkan penduduk di kota kalian tak bisa tersenyum?”
Lelaki 2: “Ya, apa ada orang-orang yang
berkeliaran dan menjahit semua bibir penduduk di kotamu, sehingga mereka tak
bisa lagi tersenyum atau membuka mulut untuk tertawa?” (mengejek)
Lelaki Tua: (menggeleng, serius) “Tidak.
Bahkan jahitan-jahitan di mulut kami telah dilepaskan. Dulu memang penduduk
kota kami tidak bisa bicara, kecuali (mencontohkan) Hm…hm…(mengangguk-angguk),
tetapi kini, setelah jahitan-jahitan dilepaskan dari bibir kami, entah mengapa
bibir kami menjadi kebas. Kami bebas berkata-kata tetapi tak bisa lagi
tersenyum. Bahkan, bila kami mencoba untuk tertawa yang keluar adalah amarah,
tangisan dan airmata….”
Lelaki 2: “Aku tak mengerti. Aku
benar-benar tak mengerti. Lebih baik aku pergi daripada mendengarkan celotehan
orang gila ini!” (kesal dan berbalik akan pergi)
Lelaki 1: (mengejar lelaki 2 yang
bergegas pergi) “Tunggu, teman! Tetapi…kurasa, entahlah…, ia datang dari jauh,
mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, dan mungkin kita bisa kita menolongnya.”
Lelaki 2: (cemberut) “ Menolong?
Bagaimana menolong orang gila ini?”
Lelaki 1 bergegas menghampiri lelaki tua
itu.
Lelaki 1: “Katamu seluruh penduduk di
kotamu tak dapat lagi tersenyum?”
Lelaki Tua: (manggut-manggut):
“Ya…,ya….”
Lelaki 1: “Berarti kau juga?”
Lelaki Tua: (manggut-manggut lagi)
“Tentu saja!”
Lelaki 1 bergegas kembali menghampiri
Lelaki 2. Wajahnya lebih cerah.
Lelaki 1: “Dengar, lelaki tua itu
mengaku bernasib sama dengan seluruh penduduk di kotanya! Ia juga tak bisa
tersenyum! Tugas kita adalah menolongnya agar ia bisa tersenyum lagi! Nah,
setelah ia bisa tersenyum kembali, mungkin hal ini akan berpengaruh pada para
penduduk kota itu.”
Lelaki 2: (Bengong) “Jadi…kita harus
membuatnya tersenyum?“
Lelaki 1: “Ya, tunggulah sebentar di
sini. Aku akan menyuruh orang membawa makanan dan minuman yang enak untuknya.
Siapa tahu ia akan tersenyum.”
Lelaki 2: “Tentu saja (setuju, yakin),
ia akan tersenyum dan berterimakasih pada kita.”
Lelaki 1 meninggalkan tempat itu. Lelaki
2 sesekali memperhatikan si lelaki tua. Wajah lelaki tua itu keras, dingin, dan
penuh curiga.
Tak lama, Lelaki 1, kembali bersama
seorang lelaki lain bergaya genit (lelaki 3) yang membawa baki penuh berisi
makanan dan minuman yang enak. Mereka meletakkan nampan besar itu di hadapan si
lelaki tua.
Lelaki 1: “Ini kubawakan makanan dan
minuman lezat. Nikmati dan tersenyumlah.”
Lelaki Tua: (memakan makanan dan minuman
itu dengan rakus) “Terimakasih….”
Lelaki 2: (menghampiri) “Mengapa kau tak
mengucapkan terimakasih sambil tersenyum pada kami?”
Lelaki Tua : “Sudah kukatakan, aku tak
bisa tersenyum!”
Lelaki 1,2,3 saling berpandangan.
Lelaki 2: “Aku akan menggelitik kakinya.
Biasanya bila digelitik, orang pasti akan tertawa!”
Lelaki 1 : “Ya, ya…, ide yang bagus!”
Lelaki 3: (bindeng) “Aih, ike juga
setuju!”
Lelaki 2 segera menggelitik kaki lelaki
tua itu, tetapi tak ada reaksi. Ia menggelitik sekujur badan orangtua itu.
Sia-sia. Lelaki tua tersebut tak juga tertawa. Akhirnya ketiga lelaki itu
menggelitik sekujur badannya secara bersamaan.
Lelaki Tua: “Aduh…aduh, sakit! Aduh
perih! A…duh!” (mengerang)
Lelaki 1,2,3: (Terkejut, menghentikan
tindakan mereka) “Sakit? Perih?”
Lelaki 2: “Mengapa kau tak tersenyum?
Seharusnya kau tertawa! Orang akan tertawa bila kegelian!”
Lelaki tua: (melotot) “Aku tidak bisa,
tahu! Bodoh! Bukankah sudah kukatakan sejak tadi, aku tak bisa lagi tersenyum.
Jadi berhentilah melakukan hal yang konyol! Tolong aku, anak muda!”
Lelaki 1,2,3 berpandangan keheranan.
Lelaki 1: (bangkit) “Sebentar, aku punya
akal!” (pergi)
Lelaki 2 dan 3 bangkit sambil memandang
lelaki tua itu sebal. Mereka bolak-balik di hadapan lelaki tua itu sambil
memikirkan cara membuatnya tersenyum. Sesekali lelaki 2 nyengir kuda melihat
gaya lelaki 3 yang centil. Tetapi lelaki tua itu sama sekali tak bergeming.
Lelaki 3 (bindeng): (berlari gembira
menghampiri lelaki tua itu) “Aih, aku punya dollar yang banyak! Kau mau?
Ambillah? Nih, ini! Semua menjadi milikmu!”
Lelaki Tua: “Untukku? Boleh.”
(memasukkan semua dolar ke sakunya).
Lelaki 3 : (bengong, bindeng) “Mana
ucapan terimakasihmu?”
Lelaki Tua: “Terimakasih.” (datar)
Lelaki 3: (kesal, bindeng) “Di
mana-mana, orang itu kalau dikasih bantuan, apalagi uang, matanya
berbinar-binar, hati menjadi girang dan ia akan tersenyum bahkan tertawa.
Bagaimana sih?”
Lelaki Tua: (cemberut) “Ngasih kok nggak
ikhlas. Sudahlah, tolong saja aku dan para penduduk kota agar bisa tersenyum
kembali….”
Lelaki 2 dan 3: “Huh!” (kesal)
Tiba-tiba, lelaki 1 datang bersama
seorang badut yang lucu sekali. Badut itu menari-nari, menggerakkan kepalanya
ke kanan dan ke kiri. Sang Badut mengitari lelaki tua dan mencoba terus
menghiburnya.
Badut (jenaka) : “Apakabar, Pak tua?
Tralala trilili, aku pelucu, penghibur semua orang (tertawa-tawa), janganlah
takut!” (badut memamerkan berbagai aksi lucu)
Lelaki 1,2,3 : (tertawa dan bertepuk
tangan melihat aksi badut)
Lelaki tua itu menatap Sang Badut agak
lama, lalu di luar dugaan, ia malah menangis. Lambat laun tangisan itu berubah
isakan yang semakin kencang. Lelaki 1,2 dan 3 keheranan.
Lelaki Tua: ( Menangis, sedih sekali)
“Mengapa harus ada orang sepertimu? (menunjuk-nunjuk badut). Setelah tiga puluh
dua tahun kepedihan ini kau muncul dengan konyolnya.”
Lelaki 3: “Aih, apa maksudmu, Pak Tua!”
Lelaki 1: “Ya, bukankah seharusnya badut
dapat membuat orang tersenyum dan tertawa?”
Lelaki Tua: (menangis)“Sungguh, aku
telah melihat badut-badut bermunculan tahun ini di sepanjang jalan di kota
kami. Seolah mereka adalah pahlawan yang bisa mengurangi derita dan membuat
kami menyunggingkan senyuman. (mencoba berhenti menangis) Dengar! Kami hanya
bisa menertawakanmu dalam kegetiran terpencil di sudut sanubari kami. Kalian
tak bisa membodohi kami. Sebab kalian cuma badut! Bahkan bila kalian mengenakan
jas, dasi atau sorban sekali pun! Senyumku bukan untuk orang seperti kalian!”
Lelaki 2: “Oh, Tuhan! Aku tak mengerti!
Ia malah marah!”
Badut: (Kesal) “Ya, sudah. Lebih baik
aku pergi.”
Lelaki 1 dan 2 berpandangan bingung
sambil menggelengkan kepala. Lelaki 3 dengan centil melambai-lambaikan
tangannya pada Sang Badut.
Lelaki 3: “Aih, daaag, Om Badut!”
Suram. Ke empat lelaki itu termenung
sesaat.
Lelaki Tua: (berjalan,mencari,
mendamba)“Senyuman…,di mana senyuman itu? Aku ingin membawa berjuta senyuman
kembali ke kota kami…, senyuman…mana senyuman itu? Kehidupan kota kami bagai
mati tanpa senyuman….” (merintih sedih)
Hening.
Lelaki 1: (berteriak) “Pak Tua! Hei, Pak
Tua! Sebenarnya siapakah yang mengambil semua senyuman dari kota kalian!?”
Lelaki 2: “Ya! Itu yang belum kau
ceritakan pada kami!”
Lelaki Tua: (mengernyitkan kening,
menggelengkan kepala, menerawang) “Aku tidak begitu pasti. Mereka para
penjarah.”
Lelaki 2: “Penjarah? Apa yang mereka
jarah?”
Lelaki Tua: “Apa saja. Harta, kedudukan
bahkan kehormatan. Mereka menjarah beras, gula juga perempuan. Mereka membakar
dan membuat onar. Memaksa kami menggigil karena takut dan lapar, setiap malam
dan siang. Mereka bermain-main dengan darah lalu tiba-tiba para ulama kami
mati. Kemudian tak ada lagi senyum yang bisa kami temukan. Semua senyum mereka
rampas, untuk mereka bagikan pada orang-orang gila yang kini berkeliaran di kota
kami…. “
Hening lagi.
Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk.
Lelaki-lelaki itu mencari arah datangnya suara dan terkejut melihat banyak
orang menuju ke arah mereka. Wajah orang-orang itu seperti mencari sesuatu.
Lelaki 1 segera menghampiri salah seorang di antara mereka.
Lelaki 1: “Siapa kalian? Darimana dan
hendak kemana?”
Orang 1: “Kami mencari orang-orang yang
bercahaya.”
Lelaki 2: (menghampiri) “ Orang-orang
yang bercahaya?Apa maksudmu?”
Orang 1: “Kami telah kehilangan
senyuman. Hanya orang-orang bercahaya yang bisa mengembalikan senyum kami.”
Lelaki Tua : ( tersentak,
tergopoh-gopoh) “Jadi kalian juga seperti aku? Hidup tanpa senyuman?”
Orang-orang itu mengangguk-angguk.
Lelaki Tua: “Dan hanya orang-orang yang
bercahaya, yang bisa membuat kita kembali tersenyum?”
Orang 1: “Ya.”
Lelaki 2: “Siapa mereka? Di mana
mereka?”
Orang 1: “Entahlah. Kita bisa jelas
mengetahui, ketika kita melangkah di jalan cahaya….”
Lelaki Tua: “Melangkah di jalan cahaya?”
Orang 1: “Ya, melangkah di jalan
cahaya!”
Orang-orang itu mengangguk-angguk dan
segera berlalu dari hadapan mereka. Tiba-tiba lelaki tua menyusul. Ia berlari
ke arah orang-orang itu.
Lelaki Tua: “Aku ikut! Cahaya! Cahaya!”
(berlari meninggalkan ketiga lelaki yang tampak bingung).
Lelaki 3: “Aih, masak sih senyuman
begitu susah dicari. Sampai harus menuju cahaya segala. Lihat nih (pada lelaki
2), senyumku manis kan?”
Lelaki 2: (melompat, terbelalak) “Itu
bukan senyuman! (pada Lelaki 1) Teman, lihatlah, seringainya! Menyeramkan!”
Lelaki 3: (bingung, mencoba tersenyum,
tetapi yang tampak seringai yang mengerikan)
Lelaki 1: “Benar! Kkkau menakuti kami!
Seharusnya kau tersenyum. Lihat senyumku, ini…”
Lelaki 3: (takut) “Aih, tolong!!
Senyummu membuatku takut! Toloooong!” (lari meninggalkan Lelaki 1 dan Lelaki
2).
Lelaki 2: “Berhenti tersenyum! Kau
menyeramkan. Nah, lihat senyumku (mencoba tersenyum, tetapi kaku) “A…apa yang
terjadi…, a…aku tak bisa tersenyum….”
Lelaki 3: (memegang bibirnya) “A…aku
juga…,mengapa bisa begini? Apa yang…sebenarnya terjadi?”
Panik.
Lelaki 1 dan 2: (sedih, bingung)
“Senyuman…, di mana senyuman? (mencari, melangkah tak tentu arah) Cahaya…,
cahaya… di mana cahaya? Senyuman…senyuman… di mana senyuman…? Cahayaaaa!??
Senyumaaaann!?? Senyumaaaan!?? Cahayaaaa!??”
Utan Kayu, 1998
Helvy Tiana Rosa
5 Februari 2001
Tags:
Cerpen,
Cerpen Islami
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!