Cerpen ini ditulis oleh : Asma Nadia
Kupandangi telegram yang barusan kubaca.
Batinku galau
Ibu sakit Diah, pulanglah!
Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana. Mbak Sri
mnyuruhku pulang? Tapi … benarkah Ibu sakit?
Bayangan Ibu, dengan penampilannya yang tegar berkelebat.
Rasanya baru kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak
kami sendirian.
Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar di sana
berjam-jam. Mnegawasi rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik
bukit.
Tidak. Ibu bahkan tak pernah kelihatan lelah di malam hari.
Saat semua aktivitas seharian yang menguras kekuatan fisiknya berlalu. Ibu
selalu kelihatan sangat kuat.
Tak hanya kauta, dari mulutnya pun masih kerap terdengar
ungkapan-ungkapan pedas,
khususnya yang ditujukan kepadaku.
“Jadi perempuan jangan terlalu sering melamun Diah! BEkerja,
itu akan membuat tubuhmu kuat!”
Komentarnya suatu hari padaku. Padahal, saat itu aku sama
sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada di pangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah
menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak
berguna yang tak
menghasilkan.
Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat dengan
para pemuda desa. Ibu sama sekali tak mau mengerti kalau rapat-rapat yang
kulakukan bukan tanpa tujuan. Kalau kami, anak-anak muda yang berkumpul di sana
sedang mencoba menyumbangkan pemikiran untuk kemajuan desa. Bagi wanita
sederhana itu, mengahalau ternak lebih berguna daripada bicara panjang lebar,
dan adu pendapat.
“Kau pikir bicara bisa membuatmu mendapatkan uang?”
Ingin sekali saat itu aku mengangguk dan menantang matanya
yang sinis. Tak tahukah Ibu, di kota sana, banyak sekali pekerjaan yang
mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya, Ibu melihat kegiatan pemilihan lurah
di desa, dan tak hanya
berkutat dengan ternak-ternaknya di padang rumput.
Pak Kades trak kan terpilih kalau dia tak punya kemampuan
bicara Bu, kemampuan meyakinkan dan menenangkan rakyatnya!
Akan tetapi, kalimat itu hanya kutelan dalam hati. Tak satu
pun ku muntahkan di hadapannya.
Caraku berpakaian pun tak pernah benar di matanya. Ada saja
yang salah.
Yang tak rapilah, kelihatan kelaki-lakianlah, dan segalanya.
Sebetulnya aku heran, kenapa tiga mbakku yang semua
perempuan itu bisa melalui hari dengan keterpasungan pemahaman Ibu. Mereka bisa
sekolah, paling tidak sampai es em pe dan es em a tanpa banyak bertengkar
dengan Ibu. Lulus sekolah,
menikah dan punya anak … dan sekali lagi, tanpa mengalami
pertentangan dengan Ibu. Sedangkan aku?
Rasanya tak ada satu hal pun yang pernah kulakukan yang
dianggapnya benar. Selalu saja ada yang kurang.
Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati wanita
itu. Kucoba memasakkan sesuatu untukknya. Meski semua saudaraku tahu aku benci
kegaiatan daour itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karea Ibu sama sekali
tak menghargai usahaku.
“Beginilah jadinya kalau anak perempuan cuma bisa belajar
dan belajar. Tak
tahu bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti
kalau begini Diah?”
Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku
mengahadapi Ibu. Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya.
Aku capek.
Maka saat ada kesempatan pergi meninggalkan rumah, dan
meneruskan pendidikan ke bangku kuliah, dengan peluang bea siswa, kugempur
habis kemampuanku, agar kesempatan itu tak lepas dari tangan.
Aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dari komentar-komentarnya
yang menyakitkan.
Masih terngiang di telingku suaranya yang bernada mengejek
waktu melihat aku mempersiapkan diri mengahadapi tes bea siswa itu.
“Kau tak kan berhasil Diah! Tak usah capek-capek! Wanita
akan kembali ke dapur, apa pun kedudukannya!”
Tak kuhiraukan kalimat Ibu. Seperti biasa aku selalu
berusaha menahan diri.
Setidaknya hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah.
Dan untuk pertama
kali aku berani menantang matanya yang selalu bersinar
sinis, dan kurasakan tanpa kasih.
Saat itu aku merasa begitu yakin. Wanita tua yang kupangil
Ibu selama ini tak pernah dengar dan tak akan pernah mencintai diriku!
“Diah … kok melamun?”
Aku mengusap air mata yang menitik. Laili yang menangkap
kesedihanku
menatapku lekat. Ada nuansa khawatir pada nada suaranya
kemudian.
“Ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak? Mana mungkin!” ujarnya
mencoba melucu.
Aku tertawa pelan, mencoba mengurangi beban di hatiku.
Kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabat baikku itu memancar di balik
kerudung coklat yang dikenakannya.
Aku berdehem berat. “Li … percayakah kamu kalau aku bilang,
ada Ibu yang tak pernah mencintai anaknya?”
Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh di
telinganya. Apa lagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah
kutemukan. Ibu Laili tak hanya bijaksana, tapi juga, tapi juga selalu
melimpahinya dengan banyak kasih dan perhatian. Jauh sekali bila dibandingkan
Ibu!
“Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat
seorang menjadi Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu.
Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili hati-hati.
Aku mengalihkan pandangan dari matanya. Kami sudah tinggal
satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh kegembiraan dan
saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita tentang
Ibu, dan ketidakadilan yang
diberikan wanita itu padaku. Sekali lagi air mataku menitik.
Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah menjenguk Ibu. Ya, tidak
sekali pun! Meski batinku terasa kering.
Bagaimanapun sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa
kupersembahkan pada wanita yang telah melahirkanku.
Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkan
itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih di mataku, apalagi membalasnya dengan
pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli!
Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara perlahan?
Mungkin tidak dalam artian kata benci yang sesungguhnya. Terus terang, aku
mulai menghapus namanya dalam kehidupanku. Dalam tahun-tahun yang telah kulalui
aku hanya
mengirim surat dan foto pada semua kakak dan keponakanku.
Tak satu pun kualamatkan untuk Ibu. Kalaupun secara rutin kusisihkan uang honor
menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan langsung. Selalu lewat salah
satu kakakku.
Paling sering lewat Mbak Sri.
Aku belajar menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang dan
sikap keibuan darinya. Aku belajar melupakan ... Ibu!
“Diah ... kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali
terdengar.
Batinku makin kisruh.
Apa pendapatnya kalau tahu, teman baiknya, selama ini telah
melupakan Ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk berbakti
dan menghormati Ibu. Selama ini aku selalu berdalih di hadapan-Nya dalam
shalat-shalat yang kulalui.
Bukan aku tak mencintainya. Tapi ... sepertinya itu kehendak
Ibu sendiri untuk dilupakan!
“Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?” tanyaku akhirnya
tanpa daya.
Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku.
“Itu aja kok, bingung! Barangkali dia kangen padamu.
Tengoklah Ibu, Di! Eh,
kapan terakhir kali kalian bertemu?”
Teman baikku itu seperti teringat saat-saat libur kuliah
yang tak pernah kumanfaatkan untuk pulang kampung, sebaliknya malah berkunjung
ke tempatnya
atau menghabiskan waktu di kos, merentang hari.
“Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!”
Jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu
kaget. Lima tahun bukan waktu yang singkat.
“Kamu haru pulang secepatnya, Di! Biar aku yang memesankan
tiket kereta.
Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu. Hm ... apa ya,
kesukaan beliau?”
Tiba-tiba Laili dilanda kesibukan luar biasa. Seakan
membayangkan mengunjungi Ibunya sendiri, yang tak pernah ditemuinya selama lima
tahun!
“Tak perlu repot-repot Laili! Biar kuurus sendiri!” tolakku
halus, tetapi Laili tetap bersikeras.
“Hey ... jangan gitu dong, Di! Selama ini kamuselalu repot-repot
saat mengunjungi kami. Jadi ... biarkan aku yang mengurus perjalananmu kali
ini. Lagi pula, kamu masih harus mempersiapkan presentasi skripsimu, kan?”
Aku menyerah.
Sebelum Laili pergi, aku menatapnya sekali lagi, “Kamu yakin
aku harus pulang, Li?”
Pertanyaanku hanya disambut senyum hangatnya.
“Tentu, pulanglah, Ibu pasti kangen kamu Diah!”
Ahh ... andai Laili tahu, perempuan macam apa Ibuku itu!
Beliau lebih keras dari karang Laili, karang masih bisa terkikis air laut,
tetapi Ibuku?
Rumah mungil kami tak banyak berubah. Juga rumah petak
kecil-kecil lain di
sampingnya. Di mana ketiga mbakku dan keluarganya tinggal.
Saat masuk ke dalam, kulihat ruangan tampak tidak serapi biasanya.
Barangkali kehilangan sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang,
setahun belakangan ini Ibu beberapa kali jatuh sakit. Akan tetapi, beliau tak
pernah mengizinkan mereka mengabarkannya kepadaku.
Karena Ibu tak butuh kehadiranku, bisikku dalam hati.
Mbak Ningsih yang melihat kecanggunganku menjelaskan. Di
pangkuannya duduk dua bocah cilik bergelayut manja.
“Ibu tak ingin mengganggu kuliahmu, Diah!”
Aku tersenyum sinis mendengar perkataan kakak tertuaku itu.
Sejak kapan Ibu memikirkan kuliahku? Bukankah baginya anak perempuan cuma akan
ke dapur?
Mbak Rahayu yang lebih banyak diam pun ikut menembahkan,
“Ibu sering bertanya pada kami Diah, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa
kuliahmu?
Berapa lama lagi selesai.”
“ Sebetulnya Ibu sangat kangen padamu Diah, tapi Ibu lebih
mementingkan kuliahmu.” Mbak Sri menambahkan di tengah aktivitas menyusui
anaknya.
Tapi, aku tak merasa perlu diyakinkan. Aku kenal Ibu. Dan
selama jadi anaknya, tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali pun.
Perkataan kakak-kakakku barusan semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Agar aku
tak merasa siasia
datang ke sini. Mereka pasti belum lupa kejadian lima tahun
yang lalu, pertengkaran hebatku dengan Ibu. Pertengkaran yang makin memantapkan
hatiku untuk pergi.
Malam itu Ibu berkali-kali menumpahkan kalimat-kalimat
pedasnya padaku.
Tujuannya satu, agar aku tak pergi Bagiku, sikap Ibu saat
itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Sementara orang lain akan menyambut
gembira berita keberhasilan anaknya meraih bea siswa macam
ini, beliau sebaliknya. Tak tahukah Ibu, kalau aku harus
menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini?
Kucoba menulikan telinga, tetapi kalimat-kalimat pedasnya
tak berangsur surut. Malah bertambah keras.
“Pergi ke kota bagi perempuan macam kau Diah hanya akan
menjadi santapan laki-laki! Tak ada tempat aman kecuali di kampung sendiri. Ibu
tak ingin kau membuat malu keluarga. Pulang dengan membawa aib!”
Astagfirullah ... Ibu kira perempuan macam apa aku? Mulutku
sudah setengah terbuka siap membantahnya, tetapi ketiga saudaraku mencegahku.
Melihat sikapku yang menantang, kemarahan Ibu makin tak terbendung.
“ Jangan coba membantah! Kurang baik dan terpelajar apa si
Retno? Lalu Sumirah? Bahkan anak pak Haji Tarjo? Pulang-pulang malah jadi
perempuan jalang!
Aku tak ingin punya anak jalang!”
Cukup! Aku tak bisa menahan kesabaranku lebih lama. Darahku
seperti mendidih mendengar kalimat-kalimat Ibu. Kalau saja Ibu cukup
mengenalku, kalau
saja Ibu punya sedikit kepercayaan pada anaknya sendiri? Ibu
cuma percaya pada dirinya sendiri. Seakan semua orang akam mengalami nasib
buruk.
Saat ditinggal Bapak! Ya, Bapak memang meninggalkan kami.
Janjinya bahwa lelaki itu akan kembali dari kota dengan membawa perubahan pada
nasib kami, cuma omong kosong. Di sana Bapak justru menikah lagi. Dan Ibu yang
menganggap dirinya sempurna sebagai wanita, merasa sakit
hati. Setelah itu semua yang berbau pembaruan dan kemajuan dimusuhinya
habis-habisan. Termasuk niatku ke kota untuk mencari ilmu.
Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang. Suaraku bergetar saat
berkata-kata padanya.
“Seharusnya Ibu bangga padaku! Seharusnya Ibu menyemangati,
bukan malah terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang Diah tahu kenapa Bapak
meninggalkan Ibu!’
kataku berani.
Di depanku, Ibu mentap mataku tajam. Matanya diliputi kemarahan
atas kelancanganku.
“Kenapa Bapak meninggalkan Ibumu? Ayo jawab, kenapa?!!!”
Sia-sia usaha mbak-mbakku yang lain untuk mengerem mulutku.
Dalam kelarahan, kulontarkan luka yang mungkin akan melekat selamanya di hati
Ibu.
“Karena Ibu picik! Itu sebabnya!”
Kubanting pintu kamarku dan mengurung diri semalaman.
Menangis. Batinku puas, telah kukatakan apa yang menurtku harus didengar Ibu.
Besoknya, pagi-pagi sekali, hanya berpamitan pada
mbak-mbakku, aku pergi, dengan bongkahan luka di hatiku. Barangkali juga di
hati Ibu. Tapi, aku tak peduli.
Saat aku mengenal Laili dan teman-teman Muslimah lain. Baru
kusesali sikapku. Seharusnya aku tak bersikap sekasar itu pada Ibu. Tak
membalas kekasarannya dengan tindakan serupa.
Meski begitu, penyesalanku tak bisa mengubah perasaan yang
kadung hampa terhadap Ibu. Aku masih tak menyukai wanita yang melahirkanku itu.
Seperti juga beliau tak menyukaiku.
“Diah ... Ibu sudah bangun.”
Mbak Sri menyentuh tanganku. Mengembalikanku dari kenangan
masa lalu.
Kubuka pintu kamar Ibu. Suara derit engsel yang berkarat
terdengar. Kulihat
Ibu terbaring lemah di dipan. Keperkasaanya selama ini,
kulihat nyaris tak tersisa.
Tangan kurusnya mengajakku mendekat.
Di bawah cahaya lampu teplok, kurayapi wajahnya yang penuih
guratanguratan usia.
Ibu tampak begitu
tua.
“Apa kabarmu Diah?” suaranya nyaris berupa bisikan.
“ Baik, Bu.” Kusadari suaraku terdengar begitu datar.
Barangkali mewakili kehampaan perasaanku.
Ibu tak memandang kaget penampilanku, yang pasti merupakan
pemandangan baru baginya. Atau Ibu terlalu sakit untuk mencela busana Muslimah
yang
kukenakan? Sekali lagi hatiku berkomentar sinis, tanpa bisa
dicegah.
“Kamu kelihatan kurusan Nduk!” ujar Ibu setelah beberapa
saat kami terdiam.
Aku tak menanggapi. Sebaliknya, mataku mengitari ruangan
kecil itu.
Semuanya hampir tak berubah. Kenapa Ibu bertahan dalam
kesederhaan ini?
Bukankah seharusnya dengan ternak-ternak itu Ibu mampu hidup
lebih layak? Belum lagi ketiga mbakku, mustahil mereka tidak memberikan tambahan
masukan, biar pun sedikit, untuk Ibu.
Aku memperhatikan ranjang Ibu. Kasur tipis di atas dipan
yang pasti tak nyaman untuknya. Cahaya penerangan pun tidak memadai. Padahal,
di rumah ketiga saudaraku perempuanku sudah diterangi cahaya listrik. Lalu ... uang
kirimanku yang rutin meski tak seberapa mestinya cukup meringankan Ibu. Tapi
kenapa?
Kulihat meja jati tua di samping Ibu. Ada beberapa botol
obat di sana. Kertaskertas dan beberapa foto yamg dibingkai. Kudekatkan tubuhku
untuk melihat lebih jelas. Mendadak mataku nanar ... masya Allah! Aku tak
sanggup berkata-kata. Segera
kutahan diriku sebisanya untuk tak menangis.
Ibu yang menyadari arah pandanganku menjelaskan, “Jangan
salahkan mbakmu Diah. Foto-foto itu Ibu yang maksa minta. Kadang Ibu pandangi,
jika Ibu kangen kamu. Lihat, itu pasti kamu waktu masih tingkat satu, ya? Belum
pakai jilbab!
Yang lainnya sudah rapih berjilbab.”
Kulihat Ibu tersenyum. Di matanya ada kerinduan yang
mendalam. Batinku kembali terguncang. Ibu kangen kangen padaku? Betulkah? Apa
yang membuat Ibu begitu berubah? Usia tuanyakah? Waktu lima tahunkah? Hatiku
terus bertanya-tanya.
Ke mana larinya sikap keras dan ketus Ibu?
“ Tolong Ibu, Nduk, Ibu ingin duduk di beranda,” pintanya
sekonyongkonyong.
Kupapah tubuh ringkihnya keluar. Di atas sana langit mulai
gelap. Beberapa bintang meramaikan rembulan yang mulai muncul. Langit jingga
tampak berbias
indah menyambut malam.
Bersisian kami duduk di beranda. Beberapa waktu berlalu
dalam keheningan.
Tanpa kata-kata, tetapi bisa kulihat wajah Ibu tampak cerah
menatap langit yang
dihias purnama. Lalu ...
“ Ning ... Ningsih ...” tergopoh-gopoh mbakku muncul
mendengar panggilan
Ibu.
“Dalem Bu ...”
“Tolong ambilkan kotak kayu Ibu di bawah tempat tidur, ya
...”
Tak lama Mbak Ning sudah muncul lagi. Sebuah kotak kayu yang
terlihat
amat tua diserahkannya kepada Ibu.
“ Bukalah Diah, itu untukmu. Ibu selalu takut tak sempat
memberikannya langsung kepadamu. Ibu sudah tua Diah,” suara Ibu. Matanya masih
menatap langit.
Meski tak mengerti, kuturuti permintaan orang tua itu. Dan
tanpa bisa kucegah, kedua mataku terbelalak melihat isinya. Uang! Di mana-mana
uang! Begitu banyakl, dari mana Ibu mendapatkannya?
Ibu terkekeh sendiri melihat keterkejutanku. Beberapa
giginya yang sudah ompong terlihat.
“Itu untukmu Diah ...”
Aku menutup kembali kotak kayu itu, kuserahkan kepada Ibu.
“Diah ndak butuh uang Ibu. Beberapa tahun ini sudah ada
kerja sambilan. Jaga
toko sambil nulis-nulis,” ujarku berusaha menolak.
“Ibu tahu ... Ibu baca surat yang kau kirimkan pada
mbak-mbakmu ... tapi itu uangmu. Kau membutuhkannya. Mungkin tak lama lagi.”
Suara Ibu memaksa.
Ahh ... wisudaku ... itukah yang Ibu pikirkan?
“Wisuda tak perlu biaya sebanyak ini, Bu ...” tolakku lagi.
“ Tapi kau harus menerimaya Diah, itu uangmu. Uang yang kau
kirimkan selama ini untuk Ibu lewat mbakmu. Sebagian ada juga hakmu dari
penjualan ternak,”
jelas wanita itu lagi.
Aku melongo. Teringat dipan tua yang kasurnya tipis, lampu
teplok, kursi di ruang tamu yang sudah jelek dan bufet yang kusam. Bukankah
dengan uang itu Ibu
bisa hidup lebih layak?
“Kenapa tak Ibu pakai untuk keperluan Ibu?” tanyaku heran.
Ibu hanya tersenyum. Matanya mencari-cari rembulan yang
setengah tertutup awan.
“Ibu tak butuh uang sebanyak itu, Diah! Lagi pula ... Ibu
khawatirtak bisa lagi memberimu uang.”
“Diah kan sudah jelaskan ke Ibu, Diah sudah bisa mencari
uang sendiri meski sedikit-sedikit. Ibu tak perlu repot memikirkan aku,” ujarku
keras kepala.
Tapi, lagi-lagi Ibu memaksaku.
“ Kau akan membutuhkannya Diah, untuk pernikahanmu nanti.
Semua mbakmu hidup sederhana. Anak mereka banyak, mungkin tak kan banyak bisa
membantumu jika hari itu tiba!”
Deg! Hatiku berdetak. Untuk pernikahanku? Sejauh itukah Ibu
memikirkanku?
Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri
relung-relung hatiku.
“Maafkan Ibu jika selama ini keras padamu Diah! Kau benar
... Ibu memang picik! Itu karena Ibu tak ingin kau terluka. Ibu tak ingin kau
kecewa. Itu sebabnya Ibu tak pernah memujimu. Kau harus punya hati sekeras baja
untuk menapaki hidup. Ibu
ingin anak bungsu Ibu mnjadi sosok yang berbeda. Seperti
rembulan merah jambu, bukan kuning keemasan seperti yang kita lihat.”
Ibu menunjuk purnama yang benderang. Aku mengikuti telunjuknya.
Batinku terasa lebih segar.
Rembulan merah jambu ... itukah yang diinginkan Ibu, menjadi
seseorang.
Menjadi orang dalam arti yang sebenarnya. Punya karakter dan
prinsip yang berbeda.
Siap mengarungi kerasnya hidup? Itukah maksud Ibu dari sikap
kerasnya selama ini?
Hatiku berbunga-bunga. Semua kehampaan, kebencian, dan
kekesalanku pada wanita tua itu tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi
membencinya! Ternyata aku cukup punya arti di mata Ibu. Aku rembulan di mata
Ibu. Aku rembulan di hatinya!
Tanpa ragu kupeluk Ibu erat.
Bersama-sama, kami menghabiskan waktu yang tak terlupakan di
beranda memandangi langit, dan ... rembulan yang kini merah jambu dalam
pandanganku!
SELESAI...
.
Tags:
Cerpen,
Cerpen Islami
.
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!