Minggu, 10 Maret 2013

Cerpen : Rembulan Dimata Ibu

Diposting oleh wahyu_alfatih at 01:46
Cerpen ini ditulis oleh : Asma Nadia
Kupandangi telegram yang barusan kubaca.
Batinku galau
Ibu sakit Diah, pulanglah!
Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana. Mbak Sri mnyuruhku pulang? Tapi … benarkah Ibu sakit?
Bayangan Ibu, dengan penampilannya yang tegar berkelebat. Rasanya baru kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak kami sendirian.
Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar di sana berjam-jam. Mnegawasi rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik bukit.
Tidak. Ibu bahkan tak pernah kelihatan lelah di malam hari. Saat semua aktivitas seharian yang menguras kekuatan fisiknya berlalu. Ibu selalu kelihatan sangat kuat.
Tak hanya kauta, dari mulutnya pun masih kerap terdengar ungkapan-ungkapan pedas,
khususnya yang ditujukan kepadaku.
“Jadi perempuan jangan terlalu sering melamun Diah! BEkerja, itu akan membuat tubuhmu kuat!”
Komentarnya suatu hari padaku. Padahal, saat itu aku sama sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada di pangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak berguna yang tak
menghasilkan.

Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat dengan para pemuda desa. Ibu sama sekali tak mau mengerti kalau rapat-rapat yang kulakukan bukan tanpa tujuan. Kalau kami, anak-anak muda yang berkumpul di sana sedang mencoba menyumbangkan pemikiran untuk kemajuan desa. Bagi wanita sederhana itu, mengahalau ternak lebih berguna daripada bicara panjang lebar, dan adu pendapat.

“Kau pikir bicara bisa membuatmu mendapatkan uang?”
Ingin sekali saat itu aku mengangguk dan menantang matanya yang sinis. Tak tahukah Ibu, di kota sana, banyak sekali pekerjaan yang mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya, Ibu melihat kegiatan pemilihan lurah di desa, dan tak hanya
berkutat dengan ternak-ternaknya di padang rumput.
Pak Kades trak kan terpilih kalau dia tak punya kemampuan bicara Bu, kemampuan meyakinkan dan menenangkan rakyatnya!
Akan tetapi, kalimat itu hanya kutelan dalam hati. Tak satu pun ku muntahkan di hadapannya.
Caraku berpakaian pun tak pernah benar di matanya. Ada saja yang salah.
Yang tak rapilah, kelihatan kelaki-lakianlah, dan segalanya.
Sebetulnya aku heran, kenapa tiga mbakku yang semua perempuan itu bisa melalui hari dengan keterpasungan pemahaman Ibu. Mereka bisa sekolah, paling tidak sampai es em pe dan es em a tanpa banyak bertengkar dengan Ibu. Lulus sekolah,
menikah dan punya anak … dan sekali lagi, tanpa mengalami pertentangan dengan Ibu. Sedangkan aku?

Rasanya tak ada satu hal pun yang pernah kulakukan yang dianggapnya benar. Selalu saja ada yang kurang.
Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati wanita itu. Kucoba memasakkan sesuatu untukknya. Meski semua saudaraku tahu aku benci kegaiatan daour itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karea Ibu sama sekali tak menghargai usahaku.

“Beginilah jadinya kalau anak perempuan cuma bisa belajar dan belajar. Tak
tahu bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti kalau begini Diah?”
Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku mengahadapi Ibu. Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya.
Aku capek.
Maka saat ada kesempatan pergi meninggalkan rumah, dan meneruskan pendidikan ke bangku kuliah, dengan peluang bea siswa, kugempur habis kemampuanku, agar kesempatan itu tak lepas dari tangan.

Aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dari komentar-komentarnya yang menyakitkan.
Masih terngiang di telingku suaranya yang bernada mengejek waktu melihat aku mempersiapkan diri mengahadapi tes bea siswa itu.
“Kau tak kan berhasil Diah! Tak usah capek-capek! Wanita akan kembali ke dapur, apa pun kedudukannya!”
Tak kuhiraukan kalimat Ibu. Seperti biasa aku selalu berusaha menahan diri.
Setidaknya hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah. Dan untuk pertama
kali aku berani menantang matanya yang selalu bersinar sinis, dan kurasakan tanpa kasih.
Saat itu aku merasa begitu yakin. Wanita tua yang kupangil Ibu selama ini tak pernah dengar dan tak akan pernah mencintai diriku!

“Diah … kok melamun?”
Aku mengusap air mata yang menitik. Laili yang menangkap kesedihanku
menatapku lekat. Ada nuansa khawatir pada nada suaranya kemudian.
“Ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak? Mana mungkin!” ujarnya mencoba melucu.
Aku tertawa pelan, mencoba mengurangi beban di hatiku. Kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabat baikku itu memancar di balik kerudung coklat yang dikenakannya.
Aku berdehem berat. “Li … percayakah kamu kalau aku bilang, ada Ibu yang tak pernah mencintai anaknya?”
Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh di telinganya. Apa lagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah kutemukan. Ibu Laili tak hanya bijaksana, tapi juga, tapi juga selalu melimpahinya dengan banyak kasih dan perhatian. Jauh sekali bila dibandingkan Ibu!
“Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat seorang menjadi Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili hati-hati.
Aku mengalihkan pandangan dari matanya. Kami sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh kegembiraan dan saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita tentang Ibu, dan ketidakadilan yang
diberikan wanita itu padaku. Sekali lagi air mataku menitik. Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah menjenguk Ibu. Ya, tidak sekali pun! Meski batinku terasa kering.
Bagaimanapun sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa kupersembahkan pada wanita yang telah melahirkanku.
Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkan itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih di mataku, apalagi membalasnya dengan pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli!
Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara perlahan? Mungkin tidak dalam artian kata benci yang sesungguhnya. Terus terang, aku mulai menghapus namanya dalam kehidupanku. Dalam tahun-tahun yang telah kulalui aku hanya
mengirim surat dan foto pada semua kakak dan keponakanku. Tak satu pun kualamatkan untuk Ibu. Kalaupun secara rutin kusisihkan uang honor menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan langsung. Selalu lewat salah satu kakakku.
Paling sering lewat Mbak Sri.
Aku belajar menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang dan sikap keibuan darinya. Aku belajar melupakan ... Ibu!
“Diah ... kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali terdengar.
Batinku makin kisruh.
Apa pendapatnya kalau tahu, teman baiknya, selama ini telah melupakan Ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk berbakti dan menghormati Ibu. Selama ini aku selalu berdalih di hadapan-Nya dalam shalat-shalat yang kulalui.
Bukan aku tak mencintainya. Tapi ... sepertinya itu kehendak Ibu sendiri untuk dilupakan!
“Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?” tanyaku akhirnya tanpa daya.
Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku.
“Itu aja kok, bingung! Barangkali dia kangen padamu. Tengoklah Ibu, Di! Eh,
kapan terakhir kali kalian bertemu?”
Teman baikku itu seperti teringat saat-saat libur kuliah yang tak pernah kumanfaatkan untuk pulang kampung, sebaliknya malah berkunjung ke tempatnya
atau menghabiskan waktu di kos, merentang hari.
“Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!”
Jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu kaget. Lima tahun bukan waktu yang singkat.
“Kamu haru pulang secepatnya, Di! Biar aku yang memesankan tiket kereta.
Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu. Hm ... apa ya, kesukaan beliau?”
Tiba-tiba Laili dilanda kesibukan luar biasa. Seakan membayangkan mengunjungi Ibunya sendiri, yang tak pernah ditemuinya selama lima tahun!
“Tak perlu repot-repot Laili! Biar kuurus sendiri!” tolakku halus, tetapi Laili tetap bersikeras.
“Hey ... jangan gitu dong, Di! Selama ini kamuselalu repot-repot saat mengunjungi kami. Jadi ... biarkan aku yang mengurus perjalananmu kali ini. Lagi pula, kamu masih harus mempersiapkan presentasi skripsimu, kan?”
Aku menyerah.
Sebelum Laili pergi, aku menatapnya sekali lagi, “Kamu yakin aku harus pulang, Li?”
Pertanyaanku hanya disambut senyum hangatnya.
“Tentu, pulanglah, Ibu pasti kangen kamu Diah!”
Ahh ... andai Laili tahu, perempuan macam apa Ibuku itu! Beliau lebih keras dari karang Laili, karang masih bisa terkikis air laut, tetapi Ibuku?

Rumah mungil kami tak banyak berubah. Juga rumah petak kecil-kecil lain di
sampingnya. Di mana ketiga mbakku dan keluarganya tinggal. Saat masuk ke dalam, kulihat ruangan tampak tidak serapi biasanya.
Barangkali kehilangan sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang, setahun belakangan ini Ibu beberapa kali jatuh sakit. Akan tetapi, beliau tak pernah mengizinkan mereka mengabarkannya kepadaku.
Karena Ibu tak butuh kehadiranku, bisikku dalam hati.
Mbak Ningsih yang melihat kecanggunganku menjelaskan. Di pangkuannya duduk dua bocah cilik bergelayut manja.
“Ibu tak ingin mengganggu kuliahmu, Diah!”
Aku tersenyum sinis mendengar perkataan kakak tertuaku itu. Sejak kapan Ibu memikirkan kuliahku? Bukankah baginya anak perempuan cuma akan ke dapur?
Mbak Rahayu yang lebih banyak diam pun ikut menembahkan, “Ibu sering bertanya pada kami Diah, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa kuliahmu?
Berapa lama lagi selesai.”
“ Sebetulnya Ibu sangat kangen padamu Diah, tapi Ibu lebih mementingkan kuliahmu.” Mbak Sri menambahkan di tengah aktivitas menyusui anaknya.
Tapi, aku tak merasa perlu diyakinkan. Aku kenal Ibu. Dan selama jadi anaknya, tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali pun. Perkataan kakak-kakakku barusan semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Agar aku tak merasa siasia
datang ke sini. Mereka pasti belum lupa kejadian lima tahun yang lalu, pertengkaran hebatku dengan Ibu. Pertengkaran yang makin memantapkan hatiku untuk pergi.
Malam itu Ibu berkali-kali menumpahkan kalimat-kalimat pedasnya padaku.
Tujuannya satu, agar aku tak pergi Bagiku, sikap Ibu saat itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Sementara orang lain akan menyambut gembira berita keberhasilan anaknya meraih bea siswa macam
ini, beliau sebaliknya. Tak tahukah Ibu, kalau aku harus menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini?
Kucoba menulikan telinga, tetapi kalimat-kalimat pedasnya tak berangsur surut. Malah bertambah keras.
“Pergi ke kota bagi perempuan macam kau Diah hanya akan menjadi santapan laki-laki! Tak ada tempat aman kecuali di kampung sendiri. Ibu tak ingin kau membuat malu keluarga. Pulang dengan membawa aib!”

Astagfirullah ... Ibu kira perempuan macam apa aku? Mulutku sudah setengah terbuka siap membantahnya, tetapi ketiga saudaraku mencegahku. Melihat sikapku yang menantang, kemarahan Ibu makin tak terbendung.
“ Jangan coba membantah! Kurang baik dan terpelajar apa si Retno? Lalu Sumirah? Bahkan anak pak Haji Tarjo? Pulang-pulang malah jadi perempuan jalang!
Aku tak ingin punya anak jalang!”
Cukup! Aku tak bisa menahan kesabaranku lebih lama. Darahku seperti mendidih mendengar kalimat-kalimat Ibu. Kalau saja Ibu cukup mengenalku, kalau
saja Ibu punya sedikit kepercayaan pada anaknya sendiri? Ibu cuma percaya pada dirinya sendiri. Seakan semua orang akam mengalami nasib buruk.
Saat ditinggal Bapak! Ya, Bapak memang meninggalkan kami. Janjinya bahwa lelaki itu akan kembali dari kota dengan membawa perubahan pada nasib kami, cuma omong kosong. Di sana Bapak justru menikah lagi. Dan Ibu yang
menganggap dirinya sempurna sebagai wanita, merasa sakit hati. Setelah itu semua yang berbau pembaruan dan kemajuan dimusuhinya habis-habisan. Termasuk niatku ke kota untuk mencari ilmu.
Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang. Suaraku bergetar saat berkata-kata padanya.

“Seharusnya Ibu bangga padaku! Seharusnya Ibu menyemangati, bukan malah terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang Diah tahu kenapa Bapak meninggalkan Ibu!’
kataku berani.
Di depanku, Ibu mentap mataku tajam. Matanya diliputi kemarahan atas kelancanganku.
“Kenapa Bapak meninggalkan Ibumu? Ayo jawab, kenapa?!!!”
Sia-sia usaha mbak-mbakku yang lain untuk mengerem mulutku. Dalam kelarahan, kulontarkan luka yang mungkin akan melekat selamanya di hati Ibu.
“Karena Ibu picik! Itu sebabnya!”
Kubanting pintu kamarku dan mengurung diri semalaman. Menangis. Batinku puas, telah kukatakan apa yang menurtku harus didengar Ibu.
Besoknya, pagi-pagi sekali, hanya berpamitan pada mbak-mbakku, aku pergi, dengan bongkahan luka di hatiku. Barangkali juga di hati Ibu. Tapi, aku tak peduli.
Saat aku mengenal Laili dan teman-teman Muslimah lain. Baru kusesali sikapku. Seharusnya aku tak bersikap sekasar itu pada Ibu. Tak membalas kekasarannya dengan tindakan serupa.
Meski begitu, penyesalanku tak bisa mengubah perasaan yang kadung hampa terhadap Ibu. Aku masih tak menyukai wanita yang melahirkanku itu. Seperti juga beliau tak menyukaiku.

“Diah ... Ibu sudah bangun.”
Mbak Sri menyentuh tanganku. Mengembalikanku dari kenangan masa lalu.
Kubuka pintu kamar Ibu. Suara derit engsel yang berkarat terdengar. Kulihat
Ibu terbaring lemah di dipan. Keperkasaanya selama ini, kulihat nyaris tak tersisa.
Tangan kurusnya mengajakku mendekat.
Di bawah cahaya lampu teplok, kurayapi wajahnya yang penuih guratanguratan usia.
Ibu tampak begitu
tua.
“Apa kabarmu Diah?” suaranya nyaris berupa bisikan.
“ Baik, Bu.” Kusadari suaraku terdengar begitu datar. Barangkali mewakili kehampaan perasaanku.
Ibu tak memandang kaget penampilanku, yang pasti merupakan pemandangan baru baginya. Atau Ibu terlalu sakit untuk mencela busana Muslimah yang
kukenakan? Sekali lagi hatiku berkomentar sinis, tanpa bisa dicegah.
“Kamu kelihatan kurusan Nduk!” ujar Ibu setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku tak menanggapi. Sebaliknya, mataku mengitari ruangan kecil itu.
Semuanya hampir tak berubah. Kenapa Ibu bertahan dalam kesederhaan ini?
Bukankah seharusnya dengan ternak-ternak itu Ibu mampu hidup lebih layak? Belum lagi ketiga mbakku, mustahil mereka tidak memberikan tambahan masukan, biar pun sedikit, untuk Ibu.
Aku memperhatikan ranjang Ibu. Kasur tipis di atas dipan yang pasti tak nyaman untuknya. Cahaya penerangan pun tidak memadai. Padahal, di rumah ketiga saudaraku perempuanku sudah diterangi cahaya listrik. Lalu ... uang kirimanku yang rutin meski tak seberapa mestinya cukup meringankan Ibu. Tapi kenapa?
Kulihat meja jati tua di samping Ibu. Ada beberapa botol obat di sana. Kertaskertas dan beberapa foto yamg dibingkai. Kudekatkan tubuhku untuk melihat lebih jelas. Mendadak mataku nanar ... masya Allah! Aku tak sanggup berkata-kata. Segera
kutahan diriku sebisanya untuk tak menangis.
Ibu yang menyadari arah pandanganku menjelaskan, “Jangan salahkan mbakmu Diah. Foto-foto itu Ibu yang maksa minta. Kadang Ibu pandangi, jika Ibu kangen kamu. Lihat, itu pasti kamu waktu masih tingkat satu, ya? Belum pakai jilbab!
Yang lainnya sudah rapih berjilbab.”
Kulihat Ibu tersenyum. Di matanya ada kerinduan yang mendalam. Batinku kembali terguncang. Ibu kangen kangen padaku? Betulkah? Apa yang membuat Ibu begitu berubah? Usia tuanyakah? Waktu lima tahunkah? Hatiku terus bertanya-tanya.
Ke mana larinya sikap keras dan ketus Ibu?
“ Tolong Ibu, Nduk, Ibu ingin duduk di beranda,” pintanya sekonyongkonyong.
Kupapah tubuh ringkihnya keluar. Di atas sana langit mulai gelap. Beberapa bintang meramaikan rembulan yang mulai muncul. Langit jingga tampak berbias
indah menyambut malam.
Bersisian kami duduk di beranda. Beberapa waktu berlalu dalam keheningan.
Tanpa kata-kata, tetapi bisa kulihat wajah Ibu tampak cerah menatap langit yang
dihias purnama. Lalu ...
“ Ning ... Ningsih ...” tergopoh-gopoh mbakku muncul mendengar panggilan
Ibu.
“Dalem Bu ...”
“Tolong ambilkan kotak kayu Ibu di bawah tempat tidur, ya ...”
Tak lama Mbak Ning sudah muncul lagi. Sebuah kotak kayu yang terlihat
amat tua diserahkannya kepada Ibu.
“ Bukalah Diah, itu untukmu. Ibu selalu takut tak sempat memberikannya langsung kepadamu. Ibu sudah tua Diah,” suara Ibu. Matanya masih menatap langit.
Meski tak mengerti, kuturuti permintaan orang tua itu. Dan tanpa bisa kucegah, kedua mataku terbelalak melihat isinya. Uang! Di mana-mana uang! Begitu banyakl, dari mana Ibu mendapatkannya?
Ibu terkekeh sendiri melihat keterkejutanku. Beberapa giginya yang sudah ompong terlihat.
“Itu untukmu Diah ...”
Aku menutup kembali kotak kayu itu, kuserahkan kepada Ibu.
“Diah ndak butuh uang Ibu. Beberapa tahun ini sudah ada kerja sambilan. Jaga
toko sambil nulis-nulis,” ujarku berusaha menolak.
“Ibu tahu ... Ibu baca surat yang kau kirimkan pada mbak-mbakmu ... tapi itu uangmu. Kau membutuhkannya. Mungkin tak lama lagi.” Suara Ibu memaksa.
Ahh ... wisudaku ... itukah yang Ibu pikirkan?
“Wisuda tak perlu biaya sebanyak ini, Bu ...” tolakku lagi.
“ Tapi kau harus menerimaya Diah, itu uangmu. Uang yang kau kirimkan selama ini untuk Ibu lewat mbakmu. Sebagian ada juga hakmu dari penjualan ternak,”
jelas wanita itu lagi.
Aku melongo. Teringat dipan tua yang kasurnya tipis, lampu teplok, kursi di ruang tamu yang sudah jelek dan bufet yang kusam. Bukankah dengan uang itu Ibu
bisa hidup lebih layak?
“Kenapa tak Ibu pakai untuk keperluan Ibu?” tanyaku heran.
Ibu hanya tersenyum. Matanya mencari-cari rembulan yang setengah tertutup awan.
“Ibu tak butuh uang sebanyak itu, Diah! Lagi pula ... Ibu khawatirtak bisa lagi memberimu uang.”
“Diah kan sudah jelaskan ke Ibu, Diah sudah bisa mencari uang sendiri meski sedikit-sedikit. Ibu tak perlu repot memikirkan aku,” ujarku keras kepala.
Tapi, lagi-lagi Ibu memaksaku.
“ Kau akan membutuhkannya Diah, untuk pernikahanmu nanti. Semua mbakmu hidup sederhana. Anak mereka banyak, mungkin tak kan banyak bisa membantumu jika hari itu tiba!”
Deg! Hatiku berdetak. Untuk pernikahanku? Sejauh itukah Ibu memikirkanku?

Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri relung-relung hatiku.
“Maafkan Ibu jika selama ini keras padamu Diah! Kau benar ... Ibu memang picik! Itu karena Ibu tak ingin kau terluka. Ibu tak ingin kau kecewa. Itu sebabnya Ibu tak pernah memujimu. Kau harus punya hati sekeras baja untuk menapaki hidup. Ibu
ingin anak bungsu Ibu mnjadi sosok yang berbeda. Seperti rembulan merah jambu, bukan kuning keemasan seperti yang kita lihat.”
Ibu menunjuk purnama yang benderang. Aku mengikuti telunjuknya. Batinku terasa lebih segar.
Rembulan merah jambu ... itukah yang diinginkan Ibu, menjadi seseorang.
Menjadi orang dalam arti yang sebenarnya. Punya karakter dan prinsip yang berbeda.
Siap mengarungi kerasnya hidup? Itukah maksud Ibu dari sikap kerasnya selama ini?
Hatiku berbunga-bunga. Semua kehampaan, kebencian, dan kekesalanku pada wanita tua itu tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi membencinya! Ternyata aku cukup punya arti di mata Ibu. Aku rembulan di mata Ibu. Aku rembulan di hatinya!
Tanpa ragu kupeluk Ibu erat.

Bersama-sama, kami menghabiskan waktu yang tak terlupakan di beranda memandangi langit, dan ... rembulan yang kini merah jambu dalam pandanganku!

SELESAI...

.


If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!


Kindly Bookmark and Share it:

YOUR ADSENSE CODE GOES HERE
 

Copyright © 2013-2014. All Rights Reserved | Cerpen-Online.comWahyu

Home | About | Top