Minggu, 12 Januari 2014

Cerpen : Harusnya Aku Bersyukur

Diposting oleh wahyu_alfatih at 09:57
Oleh : Afyifah Chairunnisaa' Al Bugisy  @dewishartyca

Mentari mulai bersinar lembut, ketika kumenapaki kota Karaeng, Makassar. Tujuanku kesini untuk melanjutkan studi di salahsatu perguruan Tinggi. Tidak serta merta begitu mudah aku berada disini. Aku butuh waktu beberapa lama untuk meyakinkan Ayah dan  kedua kakak laki-lakiku, bahwa aku akan baik-baik saja di kota. Aku sudah bernazar, jika di izinkan, aku akan istiqomah dengan jilbabku. Tidak lepas pasang lagi. Tidak hanya di pakai jika keluar bepergian jauh. dan akhirnya dengar kerja keras dan yang tiada henti, mereka mengizinkan dengan satu syarat. Aku tidak boleh ngekos. 


Akupun menurut. Kebetulan aku punya keluarga di kota Makassar. Saudara kandung almarhumah Ibuku.kebetulan ia hanya tinggal berdua dengan salah seorang keponakan perempuanku. Anak saudara sepupuku yang tinggal di Kalimantan. Ia masih SMA kelas 1. Dan akupun  akan tinggal disana. Meski kampusku lumayan jauh dengan rumah pamanku, namun aku berusaha untuk bersabar. Harusnya kubersyukur. Dapat tempat tinggal gratis di kota, dan biaya makan yang di tanggung.

            Ternyata tak seindah yang kubayangkan. Beberapa hari  disana, aku mulai jenuh. Jenuh dengan berbagai peraturan yang sangat ketat di rumah pamanku. Tidak ada pekerjaan yang kulakukan benar dimatanya. Semua serba salah. Aku tiba-tiba teringat Ayahku. Meski Ayah terkesan acuh tak acuh terhadapku, setidaknya, beliau tidak terlalu keras. Minggu-minggu pertama, aku masih bebas menumpahkan airmataku di kamar (aku menempati kamar tamu rumah tersebut). Tapi tidak lagi sekarang. Karena aku sudah sekamar dengan keponakanku. Kamar yang lebih kecil dari kamar tamu yang kutempati. Beberapa hari yang lalu, paman menyuruhku pindah ke kamar Icha, keponakanku. Kata beliau, sekedar jaga-jaga, jangan sampai ia kedatangan tamu untuk menginap. Rasanya kian hari makin tersiksa. Belum lagi, rumah pamanku tidak berada di pinggir jalan raya. Aku harus berjalan kurang lebih satu kilometer untuk sampai ke rumah.
            Hingga suatu hari…
“Paman mau bicara sama kamu.”
Aku duduk di sofa,  di samping pamanku dalam keadaan diam. Menanti kata-kata selanjutnya.
“Paman sudah tidak bisa menjaga kamu. Kamu kan tahu, paman ini sudah tua,Tidak bisa stress, Tinggi darah, Cepat marah. Paman tidak mau terbebani jika kamu tinggal disini. Coba bayangkan, jika kamu pulang terlambat dari kampus, tentu paman akan kepikiran. Dan tentu saja itu tidak baik untuk kesehatan paman.”

Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan tersebut. Aku masih terdiam. Pamanku melanjutkan perkataannya.

“Paman minta, kamu hubungi Ayah dan kakakmu, biar mereka kemari mencarikan tempat tinggal untukmu.”

Oh Allah. Tak seindah yang kubayangkan. Batinku menangis. Ya.hanya batinku. Tidak sampai keluarkan air mataku, hanya berkaca-kaca. Kutahu itu hanya sebuah alasan. Bagiku itu sebuah pengusiran halus. Sangat halus. Tak bisa di raba. Tapi dapat di sentuh oleh pekanya perasaanku.

***


            Ya Rabb,,,sungguh besar Kasih-Mu pada hamba yang penuh dosa ini. Kau tunjukkan kembali kuasa-Mu. 3 hari telah berlalu setelah pembicaraan dengan pamanku. Hari ini Tanteku yang tinggal di ujung kota Makassar, datang menemuiku. Ia masih saudara dekat almarhumah Ibu. Ia mengajakku tinggal di rumahnya. Katanya sekalian membantu mengurangi bebannya mengurusi rumah dan bisnis laundrynya. Suami tanteku adalah seorang dosen di salahsatu kampus swasta di kota ini.   Semoga disanalah kebahagiaan itu.
            Ada hal yang membuatku risih tinggal di rumah tanteku tersebut. Aku harus sekamar dan seranjang dengan anak laki-lakinya. Ya, meskipun anak tersebut baru kelas 5 SD. Tapi, bagiku tidak etik. Aku hanya pasrah. Aku hanya menumpang disini. Tidak boleh neko-neko. Hari-hari kujalani terasa lebih berat dari sebelumnya. Andai ku boleh memilih, aku lebih memilih tinggal dengan pamanku.  Rumah tanteku 2 kali lipat lebih jauh dari rumah pamanku. Tidak hanya itu, aku harus berjalan melewati gang kecil yang sepi kurang lebih 2 kilometer. Tiap hari harus menyiapkan makanan untuk keluarga tanteku. Membantunya mencuci dan menjemur pakaian. Tapak-tapak kakiku kian hari terasa lelah. Mengarungi hidup penuh uji. Mungkin selama ini aku kurang bersyukur. Dulu, sewaktu di kampung, aku selalu merasa terbebani dengan pekerjaan rumah. Sebagai anak perempuan satu-satunya, akulah yang harus menggantikan peran Ibu, setelah Ibu tiada.  kemudian, Allah membawaku pada takdir yang lain. Tinggal di rumah pamanku. Dan mungkin aku tak bersyukur, hingga Allah membawaku ketakdir yang satu lagi. Numpang tinggal di rumah saudara Almarhumah Ibu. Yang kurasa bagaikan neraka. Aku tak mengapa jika harus mengerjakan semua pekerjaan yang ada di rumah mewah tersebut. Tapi, sikap orang-orang di rumah itu yang membuatku muak. Hingga aku berfikir bahwa semua orang kaya sama saja. Angkuh, terlalu bangga dengan kekayaan yang dimilikinya, kikir, dan sok penguasa. Anak-anak tanteku samasekali tak memiliki sopan santun, suaminya yang super cuek jarang selaki tersenyum, seakan-akan harga dirinya akan jatuh ketanah jika membagi senyum ke orang  desa yang kere sepertiku. Tanteku, hanya di awal-awal saja ia manis. Lama kelamaan, ia jadi pemarah, suka menyindirku, karena kebiasaanku yang hanya di dalam kamar. Walaupun semua pekerjaan telah kubereskan. Ada satu kejadian yang membuatku ingin segera kabur saja dari rumah tersebut. Suatu ketika, saat itu libur akhir semester pertamaku. Aku berniat pulang kampung. Dan pagi-pagi sekali aku bangun untuk siap-siap pergi membeli tiket sekaligus mengambil koper dan beberapa pakainku  yang belum sempat aku ambil  di rumah paman. Aku berangkat dalam keadaan perut kosong. Sekitar jam Sebelas, semua barang-barangku sudah kebereskan dan tiket sudah kubeli.aku akan pulang nanti malam, biasanya bus berangkat selepas magrib. Karena kebetulan perwakilan busnya dekat dengan rumah paman, aku berniat berangkat dari rumah paman saja. Aku kembali ke rumah tanteku untuk mengambil barang-barangku yang sudah ku persiapkan tadi malam yang kutaruh dalam kantong kresek. Aku tiba di depan pagar. Sambil memukul-mukul gembok pada besi pagar, agar terdengar oleh orang di dalam. Tanteku melongo di pintu.

“ada apa?”

“mau ambil barangku yang tertinggal di kamar, di kantong kresek.” Aku setengah berteriak.

Tak lama kemudian, suaminya keluar. Mengulurkan barang tersebut lewat atas pagar. Tanpa membuka pagar. Hatiku teriris.pilu. kecewa. Begitu tegakah mereka. Membiarkanku kepanasan disini tanpa menyuruh masuk. Padahal saat itu perutku sudah melilit lapar. Dan tenggorokan kering, dehidrasi. Ya Allah harusnya ku bersyukur. Masih diberi kesempatan tinggal dirumah mewah dan makanan lezat setiap hari walau tak kenyang. Setidaknya, aku masih di beri kesempatan untuk mencicipinya. Aku berlalu dengan mata basah. Alhamdulillah.

***

            Aku tak menyangka bisa disini. Di  kos-kosan elit dan super murah. Berkat kemurahan Allah. Akhirnya Ayah dan kakak-kakakku mengizinkanku mencari kos-kosan, setelah kuceritakan semua yang kualami di rumah keluargaku si orang Kaya. Ibu kos yang baik lagi salihah, tempat yang nyaman dan bersih, air dan listrik murah, sewa kamar bisa di cicil, sangat dekat dengan kampus, pokoknya aman dan nyaman. Ada satu hal yang terlupa olehku selama ini. Aku pernah bernazar untuk istiqomah dengan jilbabku. Dan kini, di tempat tinggal baruku, aku memulainya. Dan disini akupun bebas beraktivitas meski tanpa jilbab. Karena peraturan yang di buat Ibu kosku, dilarang keras membawa tamu laki-laki, kecuali Ayah kandung. Alhamdulillah. Ku yakin, ini berkah sebuah kesyukuran. Bukankah Allah berfirman di dalam al Qur’an, “barang siapa yang bersyukur maka akan kutambahkan nikmat kepadanya…”

Ya Allah, seharusnya sejak dulu aku selau bersyukur.


If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!


Kindly Bookmark and Share it:

YOUR ADSENSE CODE GOES HERE
 

Copyright © 2013-2014. All Rights Reserved | Cerpen-Online.comWahyu

Home | About | Top