Oleh : Noviana Kusumawati @novianaku
Pagi menyapa dengan senyuman mentari yang menghangatkan meskipun pagi
ini masih sedikit basah oleh embun dari sisa hujan semalam. Udara pagi ini
begitu sejuk membuatku tak henti-hentinya memenuhi setiap rongga paru-paruku
dengan menghirup kesejukannya dalam-dalam. Dengan langkah mantap aku menyusuri
jalan ke sekolah, jarak antara rumahku dan sekolah memang tak begitu jauh.
Dengan jalan kaki sepuluh menit saja sudah sampai.
“Ngapain sih loe Zainab, jalan
pake acara nabrak-nabrak,” Billy sewot.
Setibanya di sekolah. Aku
lebih memilih untuk tetap di kelas saja menunggu bel berbunyi sambil mendengarkan
musik melalui earphone yang bertengger di telingaku. Pagi ini yang
berdiam diri di kelas memang tak banyak, mungkin hanya sekitar lima orang dan
percayalah keadaan seperti ini akan berbanding terbalik jika pagi ini ada tugas
rumah yang harus dikumpulkan.
Tak lama bel pun
berbunyi diiringi dengan Bu Siska yang sudah berada di ambang pintu kelas. Tapi
kulihat pagi ini Bu Siska tidak datang sendirian. Dia bersama seorang laki-laki
yang berseragam sama sepertiku.
“Pagi murid-murid,” sapaan
rutin Bu Siska sebelum pelajaran dimulai. Dan tanpa komando semuanya serempak
menjawab.
“Sebelum pelajaran
dimulai, Ibu akan memperkenalkan murid baru yang mulai hari ini menjadi anggota
baru kelas kalian. Namanya Billy, dia ini murid pindahan dari Bali,” terang Bu
Siska singkat.
“Ganteng ya Buk. Boleh
tau nomor Hp nya nggak?” tiba-tiba ada yang menyerocos, arah suaranya dari meja
belakang. Semua menolah kearahnya, aku hafal betul kalau pemilik suara cempreng
itu adalah Shinta si cewek super centil seantero sekolah.
“Huuuu….”sontak seisi
kelas menyorakinya dan aku tak mau kalah untuk ikut-ikutan.
“Sudah, sudah. Kalau
mau kenalan lebih lanjut ada waktunya, jam istirahat atau pulang sekolah nanti
kalian bisa kenalan,” Bu Siska coba menenangkan kegaduhan.
“Kalau begitu kamu
Billy silahkan duduk di kursi sebelah situ,” Bu Siska menunjuk kursi yang tepat
berada disampingku. Kursi itu memang sudah seminggu kosong, ditinggal
penghuninya yang akan meneruskan sekolah ke luar negeri.
Aku tidak terlalu
terpesona melihat Billy, mungkin karena dia bukan type cowok idamanku. Tapi memang
sih tak aku pungkiri, bagi cewek kebanyakan cowok seperti Billy yang berkulit putih, tinggi, punya hidung
mancung, nyaris mendekati sempurna atau bahkan sangat sempurna.
Bu Siska lalu
melanjutkan pelajaran sejarahnya. Pelajaran sejarah memang selalu bisa membuat
orang terlena dan akhirnya ada suatu kekuatan yang tak tertahankan dan bisa
sakit kepala kalau tak dituntaskan yaitu ngantuk. Aku edarkan pandangan, belum
ada setengah jam sudah banyak yang menyerah. Pihak sekolah sepertinya sadar
akan hal itu dan mencoba menempatkan pelajaran sejarah di pagi hari, saat isi
kepala masih segar. Tapi kenyataannya, tidak terlalu efektif.
“Baiklah, sebelum
pelajaran hari ini Ibu sudahi. Ibu punya tugas untuk kalian. Tugas ini
dikerjakan perkelompok dan Ibu yang akan menentukan kelompokknya. Setiap
kelompok hanya terdiri dari dua orang,” ucapan Bu Siska membuyarkan mimpi
setiap murid. Sebenarnya banyak yang memasang muka protes tapi yang memberi
tugas kali ini adalah Bu Siska, seorang guru yang tak segan-segan menyuruh
muridnya berdiri dengan kaki satu sambil menjewer telinga di tengah lapangan
hanya karena tidak mengerjakan tugas. Mau tak mau semua mulai pasang telinga
lebar-lebar. Dan mulai membuat harapan, semoga yang menjadi teman sekelompoknya
adalah benar-benar seseorang yang diinginkan.
Satu persatu Bu Siska
menyebutkan setiap nama kelompok. Terlihat ada yang tersenyum senang karena
harapannya terkabul dan ada juga yang memasang wajah pasrah. Mereka yang senang
biasanya karena dipasangkan dengan teman yang pintar atau best friendnya.
Tapi kutunggu-tunggu namaku belum juga terdengar.
“Billy Kurniawan kamu
saya pasangkan dengan Zainab Sugiyanto,” kata Bu Siska akhirnya.
Tampak Bu Siska lalu
meninggalkan ruangan.
Aku menoleh ke arah
Billy. Terlihat Billy sedang celingukan mencari seseorang. Ya mungkin dia belum
tahu kalau yang menjadi teman kelompoknya adalah aku. Beberapa menit kemudian aku
menoleh lagi ke arah Billy, anak baru yang kini duduk di sebelahku. Terlihat
dia masih saja celingukan.
“Hei,,, loe nyari
siapa?” aku beranikan untuk menepuk pundaknya. Malas saja harus melihat dia
celingukan kayak orang bego.
“Yang namanya Zainab
mana sih orangnya?”
“Nih, orangnya ada di
depan loe,” aku mengarahkan jari telunjuk ke arah wajahku sendiri, cuma sekedar
untuk mempertegas. Tampak kemudian dia senyum-senyum geli.
“Kenapa ada yang aneh
sama nama gue? Menurut loe lucu. Loe fikir yang namanya Zainab itu pasti pake
kacamata besar berminus tebal trus rambutnya di kepang dua. Orangnya kampungan
dan culun abis. Iya?!” aku sedikit sewot. Ini bukan kali pertamanya ada orang
yang senyum-senyum sendiri menahan lucu waktu mendengar namaku. Untuk zaman
sekarang nama itu memang terkesan kurang elit. Aku pun mengakuinya.
Tapi tidak bagi ayahku.
Ayahku begitu mengidolakan tokoh Zainab di film Si Doel Anak Sekolah. Dan
karena itu aku diberi nama Zainab. Ayahku selalu berkata kalau nama Zainab itu
indah dan berharap aku bisa secantik dan baik hati seperti seorang Zainab di
film favoritnya itu. Nama Zainab memang indah dimasanya, tapi bukan untuk
sekarang. Dan sayangnya ayahku kurang peka untuk urusan itu.
Tampak Billy kemudian
sedikit menjaga sikapnya. “Ya udah, maaf deh. Kita kerjain tugasnya di rumah
gue aja gimana? Soalnya gue harus jaga adik gue.”
“Iya, nggak masalah.
Ntar loe kasih tau aja alamatnya,” lanjutku. Tampak Billy hanya mengangguk.
“Dan satu hal lagi,
panggil gue Zay. Cukup panggil gue Zay. Ingat ya!” tampak sekali lagi Billy
mengangguk. Baguslah, aku anggap dia sudah mengerti.
***
Hari minggu jam empat
sore, aku tepat berada di depan pagar rumah Billy. Hari ini aku dan Billy
sepakat untuk mengerjakan tugas sejarah yang diberikan Bu Siska kemarin.
Awalnya aku sempat canggung untuk masuk karena rumah Billy bak istana, besar
banget dan halamannya super luas. Segera saja aku beranikan untuk mendekati pos
satpam.
“Permisi Pak, saya Zay.
Saya temannya Billy. Apa Billynya ada di rumah Pak?” tanyaku pada satpam
berbadan kurus.
“O,,, temannya den
Billy. Mau ngerjain tugas ya neng?” jawabnya. “Silahkan neng, sudah ditungguin
sama den Billy. Mari saya antar.”
Ku ikuti saja satpam
itu berjalan dari belakang. Lamat-lamat kuedarkan pandangan ke sekeliling.
Rumah ini memang bak istana, tak henti-hentinya aku bergumam di dalam hati.
Setiba di dalam rumah, aku semakin takjub. Ku lihat banyak sekali pajangan
kristal-kristal mahal yang tersusun rapi di dalam sebuah lemari kaca besar. Bentuknya
pun bermacam-macam dan semuanya berkilauan.
Di dindingnya banyak
terpampang lukisan-lukisan indah, dan pasti harganya tidaklah murah. Ada juga
sebuah foto berbingkai besar yang bersandar di dinding hijaunya. Seperti sebuah
foto keluarga, di foto itu ada Billy, kedua orang tuanya, dan seorang anak
perempuan yang manis.
Tak lama Billy tampak
menuruni tangga. Membawa beberapa buku di tangannya dan sebuah laptop.
“Kita ngerjain tugas di
belakang aja ya,” katanya setelah menuruni anak tangga terakhir.
Aku hanya mengangguk
sambil tersenyum lalu mengikuti langkahnya dari belakang. Aku perhatikan Billy
dari belakang, Billy tampak begitu keren dengan pakaian rumahnya. Cara dia
berjalan begitu berkarisma, tatapan matanya tajam terbingkai indah di bawah
alis matanya yang tebal, dan rahangnya yang kokoh menyiratkan sebuah pribadi
yang kuat. Apalagi sikapnya yang dingin pasti bisa membuat semua orang makin terpesona.
Tapi bukan aku.
Tiba-tiba saja,,,
Bruk…!!!
“Yee,,, lagian salah
loe. Ngapain pake acara berhenti mendadak. Kan gue nggak sempat ngerem. Dan
satu hal lagi, panggil gue Zay not Zainab,” aku mencoba membela. Tapi
Billy tampak cuek saja.
Aku dan Billy lalu
duduk di atas karpet merah yang didepannya terdapat sebuah meja bundar. Seorang
pembantu rumah tangga yang usianya sekitar 40an datang dengan membawa dua gelas
es jeruk. Billy lalu menghidupkan power laptopnya. Beberapa menit kemudian,
muncul sebuah foto yang menjadi background dilaptopnya. Billy dengan anak kecil
yang berkepala botak.
“Foto loe sama siapa
itu Bil?”aku bertanya untuk menghilangkan rasa penasaran.
“Loe mau ngerjain tugas
atau mau tau urusan gue? Udah deh nggak usah kepo,” tampak Billy langsung
sewot.
Aku memilih mengalah.
Malas saja rasanya kalau saat ini harus ribut dengan cowok yang galaknya minta
ampun. Mending cepat-cepat menyelesaikan tugas dan aku bisa segera bebas dari
dia.
Sepertinya Billy adalah
orang yang perfectionist. Sepanjang mengerjakan tugas, dia tetap bisa
untuk terus fokus. Cara dia berfikir, berdiskusi, menyampaikan pendapatnya
sungguh membuatku terkesan. Tak hanya itu saja, setiap aku memberikan pendapat
atau masukan dia selalu bisa menghargainya. Aku merasa beruntung bisa satu
kelompok dengan Billy, walaupun dia sedikit galak. Setidaknya baru kali ini aku
mengerjakan tugas kelompok yang benar-benar dikerjakan secara kelompok. Karena
selama ini, selalu aku yang mengerjakanya sendiri dan teman kelompokku yang
lain hanya numpang nama dengan balasan traktiran di kantin.
Dan memang benar jika
segala sesuatu dikerjakan dengan bersungguh-sungguh pasti akan cepat selesai
dan hasilnya pasti akan sangat memuaskan. Tugas selesai hanya dalam waktu lebih
kurang satu jam setengah. Kami berdua sama-sama menghela nafas lega.
Setelah tugas selesai
di print out, Billy lalu merapikan buku-bukunya dan mematikan laptopnya.
Tapi lagi-lagi foto di background laptop itu masih membuatku penasaran.
Siapa sebenarnya anak yang berkepala botak yang berfoto bersama Billy itu.
Aku lalu permisi pulang
dan Billy berinisiatif untuk mengantarku sampai pintu depan. Tapi tiba-tiba
saja dari arah dapur, muncul seorang anak berkepala botak persis sama dengan
foto yang menjadi background tadi.
“Eh kakak, ada yang
datang ya. Siapa kak, koq nggak dikenalin ke aku. Mmm,,, pacar kakak ya?”tanya
anak kecil itu dengan senyum yang mengembang lebar.
“Namanya kak Zainab. Dia
teman baru kakak di sekolah,” Billy menjawab sambil mengelus-elus pundak anak
itu.
Aku melirik sadis
kearahnya, dan tampaknya Billy menyadari. Sudah sering aku peringatkan Billy
untuk tidak menyebut nama itu tapi sepertinya Billy punya penyakit amnesia
akut. Baru beberapa menit diperingatkan tapi sudah lupa. Ingin rasanya aku
cakar-cakar mukanya biar gantengnya luntur sekalian. Menurutku tidak ada
gunanya punya wajah ganteng tapi galaknya minta ampun dan punya penyakit
amnesia akut.
“Kakak cantik deh,” kata
anak itu lagi sambil tetap mengembangkan senyum lebarnya dan kali ini dia
tersenyum untukku. Senyumnya yang tulus akhirnya memaksaku untuk membalas
senyumnya.
***
Sejak pertemuan
pertama, sosok mungil itu selalu membayangiku. Entah kenapa, dirinya bagaikan
magnet yang bisa membius setiap aliran darahku. Cara matanya menatap, wajahnya
yang lugu dan senyumannya yang tulus selalu terngiang disetiap mataku
memandang. Aku juga bingung racun jenis apa yang sedang menggerogoti fikiranku,
baru kali ini aku merasa tanggap, peduli, perhatian bahkan begitu penasaran
akan sosoknya.
Saat ini aku berada di
taman dekat parkiran sekolah, menunggu Billy datang. Kemarin aku juga sempat
menunggunya tapi ternyata dia izin tak masuk sekolah. Dan kali ini aku sungguh
berharap bisa bertemu dengan batang hidungnya.
Sepuluh menit sebelum
bel berbunyi akhirnya kudapati sebuah ninja masuk ke pelataran parkir. Segera
saja aku menghampiri pengemudi ninja yang kini tengah membuka helmnya.
“Billy,,, gue mohon
kali ini loe jawab pertanyaan gue. Gue masih penasaran sama anak yang di rumah
loe kemarin. Siapa sih?”
“Buat apa gue kasih
tau. Apa untungnya buat loe?”
“Sekali lagi gue mohon.
Please kasih tau gue anak itu siapa. Gue juga nggak tau sejak pertemuan
gue sama dia, entah kenapa fikiran gue nggak bisa lepas dari dia. Jadi gue
mohon kasih tau gue ya,” aku terus memohon dengan wajah memelas berharap Billy
mau menjawab rasa penasaranku.
“Namanya Laura. Dia
adik gue,” jawab Billy singkat.
“Adik? Beneran adik
loe? Waktu gue lihat di foto keluarga loe, perasaan adik lo nggak,,,” belum
selesai aku bicara Billy langsung memotongnya.
“Botak! Dia kayak gitu
bukan karena kemauan dia, dia kena kanker darah,” terang Billy.
“Trus keadaan adik loe
sekarang gimana?” tanyaku iba.
“Menurut prediksi
dokter, gue bakal ngerasain punya adik cuma tinggal dua bulan lagi. Tapi
sekarang orang tua gue lagi berusaha bawa dia berobat ke Amerika,” wajah Billy
terlihat berusaha untuk tegar.
Seketika aku tertegun.
Darah yang mengalir deras di tubuhku seakan berhenti seiring dengan berhentinya
waktu disekitarku. Aku merasa ada suatu beban yang tiba-tiba menyokong
pundakku. Beban itu sangat berat, rasanya tubuhku tak kuat lagi menahanku untuk
tetap berdiri. Persendianku terasa kaku, urat nadiku terasa tersayat, dan
nyawaku berhenti bernafas. Udara terasa pengap dan paru-paru terasa berhenti
bekerja. Aku tak habis fikir, takdir macam apa ini.
“Kenapa bengong. Loe
pasti kaget kan?”
Aku masih tak sanggup
berkata, mulutku kaku dan tenggorokanku begitu serak. Seperti ada pisau tajam
yang saat ini tertancap di leherku.
“Sekarang loe udah tau
semuanya. Seharusnya loe bersyukur sama hidup loe. Jangan bisanya cuma mempermasalahkan
nama yang sebenarnya itu nggak penting untuk dibesar-besarkan. Seharusnya loe
tu mikir, bagaimana caranya agar nama loe terlihat indah,” kata-kata Billy
barusan berhasil membuat hati nuraniku bergetar.
***
Senyuman dan tawa lepas
mereka selalu membuatku merasa jadi orang yang paling bahagia di seluruh dunia.
Aku tak henti-hentinya mengembangkan senyum melihat mereka tertawa riang,
bermain dan bernyanyi riang melepas
beban. Aku bisa terbang ke langit ke tujuh dengan leluasa walaupun dengan satu
sayap. Ya hanya satu sayap, karena sayap satunya lagi telah aku berikan pada
mereka. Agar mereka juga bisa terbang bersamaku.
Tak pernah ada kata
terlambat untuk berubah. Setiap orang berhak untuk berubah menjadi lebih baik
kapan saja. Apalagi jika perubahan itu diikuti dengan niat yang kuat,
percayalah setiap sendi di tubuh kita akan merespon dengan sempurna.
“Senang ya bisa melihat mereka tertawa,” bisik
seorang cowok disebelahku. Aku menoleh kearahnya dan mengangguk yakin.
“Sekarang nama loe
adalah sumber kebahagiaan mereka. Setiap mereka memanggil nama loe, satu beban
mereka hilang. Dan loe sekarang percaya kan, kalo nama loe itu indah,” lanjut
cowok itu.
Sekali lagi aku
mengangguk mantap penuh keyakinan. Dan tiba-tiba saja ada yang menarik
tanganku.
“Kak Zainab, kita
nyanyi yuk,” ajak seorang anak.
Aku menuruti
permintaannya. Sekarang aku tak lagi menghebohkan jika ada yang memanggilku
dengan nama Zainab. Benar kata Billy, aku tak seharusnya membesar-besarkan hal kecil.
Saat ini aku sangat bahagia karena telah menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka.
Mereka yang hidupnya kurang beruntung karena harus menanggung penderitaan
akibat penyakit yang tak habis-habisnya menggerogoti sampai akhirnya mereka
lelah untuk bertahan dan tidur panjang untuk selamanya.
Aku sangat berterima
kasih pada Billy karena telah membawaku ke dunia yang selama ini tak pernah aku
sentuh. Aku salut padanya, dibalik sikapnya yang dingin dan sedikit galak
ternyata dia mempunyai pribadi yang penyayang. Yayasan kanker inilah yang
membuatku bisa belajar banyak tentang arti kehidupan. Disela-sela bernyanyi aku
menatap Billy dan tersenyum indah padanya. Terima kasih, you are my best
friend.
Tags:
Cerpen,
Cerpen Persahabatan
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!