Ditulis oleh : Alfan D'Ikhwan
Ketua FSI An-Nahl UIN Suska Riau
Sebuah
Cerita Renungan Untuk Kita Bersama....
Semoga
Bermanfaat....!!!
Sejenak, mari kita renungkan kembali sebuah kisah bijak yang Penulis coba kutib dari sebuah buku sirah sahabat...
Suatu hari abu musa al asy’ari ra, datang dengan
tergopoh-gopoh menghampiri abdulah bin mas’au ra, ia menceritakan bahwa ia baru
saja melihat banyak orang di masjid,
duduk melingkar dalam satu halaqah. Mereka sama-sama bertakbir, bertahmid,
bertasbih, dan membaca kalimat-kalimat thayibah lainnya. Ibnu mas’ud bertanya
kepada mereka, “ apa yang sedang kalian
lakukan ini?”
Mereka menjawab, “wahai abu abdirrahman, ini adalah
batu-batu kerikil. Kami sedang bertakbir, bertahmid, dan bertasbih, dan
menghitungnya dengan menggunakan batu
krikil ini”. Lalu ibnu mas’ud berkata, “mengapa kalian tidak menghitung
dosa-dosa kalian saja?, aku jamin, jika dosa-dosa kalian yang kalian hiitung,
niscaya kebaikan-kebaikan kalian tidak akan hilang”. (Riwayat Ad Darimi).
Kisahh ini bukan hanya peringatan semata terhadap sahabat
agung ibnu mass’ud ra, tentang keburukan dan kesia-siaan melakukan amal yang
tidak di contohkan oleh Nabi SAW, seperti banyak ditulis dalam buku-buku agama
atau diceramahkan dari atas mimbar-mimbar dakwah. Bukan tetapi juga merupakan
informasi tentang pentingnya melakukkan perenungan diri, sesuatu yang
barangkali banyak dilupakan oleh orang-orang yang mengaku beriman, termasuk kamu, wahai diriku.
Perjalanan hidup ini amatlah panjang, bahkan sangat
panjang. Ia membutuhkan jeda sesaat untuk memastikan, apakah ada yang harus
diperbaiki, diluruskan, atau dirubah total agar seseorang manusia tidak tertipu
dan tersesat jalan, sehingga akan terhambat keselamatannya untuk sampai tujuan
nun jauh disana.
Jeda waktu iitu tidak lain adalah perenungan diri, alias
intropeksi. Ini sangat penting. Karena itu, Rosulullah SAW mengingatkan,
“orang-orang yang cerdas adalah orang yang menghitung dirinya dan berbuat untuk
sesuatu yang ada setelah mati”. (HR. Tarmidzi)
Wahai diriku, rasanya sudah lama aku tidak menyapa dirimu,
menyetop langkahmu untuk sekedar bertanya dan mengingatkan batas-batas
perjalanan hidupmu, sampai akhirnya aku membaca kembali hadist nabi di atas.
Bukannya aku malu tidak disebut cerdas oleh Nabi SAW, tetapi karena ini memang
penting dan perlu untuk ku lakukan untukmu. Maka disaat ini, aku ingin bertanya
kepadamu tentang banyak hal-hal yang tidak patut untuk kamu lakukan untuk
sekarang ini dan seterusnya.
Tentang hubunganmu dengan Allah, aku sadar, bahwa tidak
ada yang paling penting dalam hidup ini
kecuali menjaga hubungan baik dengan Allah SWT. , dalam keadaan apapun.
Sebab, Dialah yang telah menciptakan aku dan juga semua manusia. Kepada-Nyalah
aku akan kembali. Dan hanya bagin-Nyalah aku mengabdi, beramal, beribadah.
Tidak untuk yang lain.
Aku pun tahu kalau enagkau, wahai diriku, juga telah
menyadari itu. Karena itu, dulu engkau begitu dekat-Nya. Paling tidak, jika aku
bandingkan dengan keadaanmu sekarang. Waktu itu, apa yang kau pinta rasanya
selalu terkabul. Tidak ada kesulitan yang berarti dalam hidupmu. Engkau minta
kepada-Nya agar diluluskan dalam ujian, kaupun lulus. Engkau memohon agar
dimudahkan dalam menyelesaikan masalah-masalahmu, Pertolongan_Nya pun datang
sedemikian cepat. Engkau berdo’a agar di mudahkan kuliah, itupun engkau dapatkan.
Bahkan Allah senantiasa memberimu rezeki dan kesehatan yang tiada kurangnya
untukmu. Engkaupun mengeluh penyakitmu pada-Nya, tak lama kemudian engakaupun
kembali sehat. Pendeknya, apa yang kau minta selalu ada jawabnya.
Tetapi kini, ketika kau merasa sedang terdesak dan
benar-benar membutuhkan pertolongan-Nya kau terlihat malu menghadap-Nya. Kau
bahkan tampak tidak yakin bahwa permintaanmu akan terkabul. Bukan lantaran
engkau berburuk sangka terhadap-Nya. Sama sekali bukan. Sebab aku tahu dan kau pun
menyakini itu, bahwa Allah senantiasa mendengar do’a hamba-Nya, siapapun dia. Lagi
pula, engkau sangathafal firman-Nya yang diriwayatkan kekasih-Nya Muhammad SAW,
“Aku, berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku”. Artinya, kalau kamu yakin
Allah mengabulkan do’a-do’amu, maka seperti itulah yang akan Dia berikan.
Aku ingin mejelaskan kepadamu, meskipun sesungguhnya kamu
sudah tahu jawabannya. Rasa malu itu hadir, tidak lain karena kau mencoba tahu
diri bahwa keadaanmu saat ini berbeda dengan yang dulu. Dulu kau rajin
beribadah, sekarang sering melupakan-Nya. Kau seakan tidak ingin Allah
mengabulkan permintaanmu, namun kau jauh dari-Nya.
Wahai diriku, engkau memang tidak sampai meninggalkan
sholat, namun, shalat yang kau kerjakan seperti tidak memberi efek dan makna
bagimu. Itu karena engkau melakukannya tanpa kekusyuan. Terlalu banyak problem
yang menggelayut difikiranmu. Ada tugas yang belum selesai, ada masalah dengan
orang lain yang rumit, ada perasaan terhadap orang lain, ada ini dan itu. Belum
lagi, sekarang engkau jarang memang jarang ke masjjid. Terkadang ketika adzan
subuh berkumandang, engkau justru semakin merapatkan selimutmu. Padahal masjid
hanya beberapa puluh langkah dari rumahmu. Engkau sekarang bahkan terbiasa
dengan menunda-nunda shalat, yang dulu sangat takut engkau lakukan.
Engkau bukannya tidak tahu, kalau semakin rajin dan
khusyuk sholatmu maka problem-problem hidupmu akan selesai dengan sendirinya.
Tetapi kenapa problem-problem itu justru mengalahkan kualitas dan kuantitas
ibadahmu. Sering, dalam shalat berjama’ah terkadang aku menertawaimu. Sebabnya,
shalat yang dikerjakan, rakaat demi rakaatnya berlalu tanpa terasa. Bahkan,
kadang kala imam mengucapkan salam tanda shalat telah berakhir, kau tiba-tiba
terhenyak; kembali dari petualangan fikiranmu dan melihat kenyataan bahwa
kaupun telah selesai melakukan shalat.
Puasa dibulan ramadhan dan puasa sunah pun memang tetap
kau jalankan. Tapi sayang, kadang yang kau puasakan hanya perutmu saja.
Sementara, mata, telinga, lisan, dan hatimu tak mampu menahan Goda’an. Shalat
tarawih yang biasa tidak pernah engkau tinggalkan, rasanya hanya setengahnya
yang engkau kerjakan. Begitu juga dengan tilawah, kau bahkan tidak bsa
menghatamkan baa’an, meski hanya sekali.
Ibadah-ibadah yang lain banyak yang tidak maksimal. Kau
mengerjakannya hanya karena ingin melepas kewajiban. Maka wajar jika amal
ibadahmu tidak mendekatkanmu kepada Allah SWT.
Ketika Allah mengujimu dengan satu musibah, engkau tidak
bisa bersabar. Di saat engkau berusaha dan berikhtiar, selalu tidak disertai
dengan sikap tawakkal yang sempurna. Jika kau berdiri menghadap-Nya, tak ada
adab kesopanan yang kau sertakan. Kau memang terlihat jauh dari Allah SWT dari
sisi apa saja.
Aku memang sudah lama tidak memperdulikan keadaan dirimu.
Karena itu, tidak heran kalau dirimu tidak seperti dahulu lagi. Hari ini aku
ingin bertanya padamu, apakah kau
menjadi diri yang puas dengan prestasi amalmu yang tak pernah meningkat ini? Mudah-mudahan
jawabanmu “tidak”. Sebab aku sangat berharap kau bisa berubah menjadi lebih
baik. Minimal seperti dulu, dimana engkau merasakan dekatnya pertolongan Allah
atas dirimu.
1.
Tentang hubunganmu dengan AlQur’an.
Akhir-akhir ini aku juga melihatmu sangat jauh dari Al
Qur’an. Padahal Al Qur’an itu adalah sarana berkomunikasi dengan Allah SWT yang
paling mudah dan efektif. Tidak perlu modal dan tenaga. Dulu, kemana-mana di
saku bajumu atau di Tasmu selalu terselip Mushaf ukuran kecil. Itu karena
engkau memang rajin membacanya, satu atau setengah juz setiap harinya. Minimal
kau jadikan sebagai pengingatmu ketika terlupa dan hampir terjebak dalam Dosa.
Kini, engkau telah terbiasa pergi tanpa Mushaf Al Qur’an
di sisimu. Sebab posisinya dihatimu telah tergantikan dengan TELEPON selulermu.
Jika kakimu melangkah ke luar rumah
tanpa membawa Mushaf, tak ada lagi kata penyesalan. Namun jika telepon
selulermu yang tertinggal, kau akan panik tak terkira. Bahkan engkau akan
menjemputnya kembali ke rumahmu. Engkau kini benar-benar telah mementingkan
berkomunikasi dengan manusia, daripada kebutuhanmu berkomunikasi dengan RABB-mu
sendiri.
Biasanya, di bulan ramadhan engkau mampu menamatkan Al
Qur’an mu lebih dari sekali, bahkan bisa empat sampai lima kali. Namun, di
ramadhan yang lalu, jangankan sekali, setengah kali pun tidak. Aku bingung, apakah
engkau yang bosan dengan AlQur’an atau justru Al Qur’an yang bosan terhadapmu.
Kalau engkau yang bosan, mudah-mudahan dalam waktu dekat, engkau akan segera
mengakrabinya kembali. Tetapi kalau Al Qur’an yang bosan, aku tidak tahu,
kemana lagi engkau akan mencari pedoman hidup nanti. Sekarang saja engkau sudah
sedemikian sesat, apalagi jika Al Qur’an menjauh darimu. Celaka engkau wahai
diriku..!!
Aku ingat, dan barangkali semua teman kelas dan kos dan
orangtua mu pun tahu. Kalau kau tidak percaya, coba kau tanyakan pada mereka.
Dulu, ketika kau duduk di meja kelas,
ataupun dirumah dan di kos-kosan, yang sering terdengar dari komputer
kerjamu adalah tilawah Al Qur’an dari berbagai Qari’ yang amat merdu suaranya
dan dapat mententramkan hati pendengarnya. Kalaupun tidak, penggantinya tidak
jauh dari nasyid-nasyid pembakar semangat. Tetapi kini, jangankan tilawah Al
Qur’an, Nasyid pun sudah terhapus satu persatu, berganti dengan lagu—lagu dan
suara syetan yang sesungguhnya engkau sendiri sangat Faham bahwa lagu itu tidak
akan memberi apa-apa padamu. Kecuali itu akan membuat hatimu kotor dan jauh
dari Allah SWT. Tak ada pahala yang
dapat diberikan lagu itu seperti halnya engkau mendengarkan tilawah Al Qur’an
di laptop ataupun handphone mu.
Ketika kau pun harus tampil membaca AlQur’an, itupun
karena kau ingin agar kau dikatakan sebagai orang yang terpelajar. Atau sebagai
Qari’ yang pandai, atau karena ingin di kedepankan di majlis, diminta untuk
mengajar, dan dimintai fatwa tentang ini dan itu. Terkadang pula, aku merasakan
bahwa engkau melakukan itu agar Al Qur’an dapat menjadi sumber penghasilanmu,
atau sekedar tambahan pendapatan dari pekerjaan tetapmu.
Sekiranya perasaan itu benar adanya wahai diriku, maka
bersiaplah untuk di jauhkan dari surga dan menempati Neraka. Sebab Rosulullah
pernah menagaskan, “barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya
untuk mencari ridho Allah, namun dia tidak mencarinya selain untuk memperoleh
setumpuk harta dunia, dia tidak akan mendapatkan wanginya surga pada hari kiamat”.
(HR Abu Daud).
Wahai diriku, camkan pula hadis Rosulullah SAW tetang
orang-orang yang pertama kali akan diputuskan hukumannya pada hari kiamat.
Salah satunya adalah mereka yang belajar agama dan Al Qur’an. Dalam hadistnya
Rasulullah SAAW bersabda, “lalu didatangkan seorang laki-laki yang belajar ilmu
agama dan mengajarkannya, serta pandai membaca Al Qur’an, kemudian ditanyakan
padanya tentang nikmat-nikmat Allah yang diberikan padanya, dan dia pun
mengakuinya. Maka Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengan semua itu?” Dia
berkata, aku belajar ilmu agama dan mengajarkannya. Dan aku juga sering membaca
Al Qur’an karena engkau”. Allah Berkata, “kamu bohong! Kamu belajar ilmu agama
agar dikatakan sebagai orang alim. Kamu pandai membaca Al Qur’an juga agar
dikatakan sebagai Qari’, dan sungguh kamu telah dikatakan demikian”. Lalu Allah
memerintahkan agar itu diseret dengan muka menghadap kebawah hingga di
lemparkan kedalam api neraka. (HR Muslim An Nasa’i). Na’uzubillah....
Hari ini, aku ingin mendengar darimu jawaban yang jujur,
apakah engkau melakukan itu karena menginginkan dunia atau karena ingin mencari
ridho Allah, seperti yang biasa engkau ucapkan? Rasanya, engkau masih perlu
banyak belajar tentang ILMU IKHLAS.
Wahai diriku, marilah kita berdo’a agar Allah menyatukan
hati kita dengan Kalam-Nya yang terhimpun di dalam Al Qur’an itu. “Ya Allah,
aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan
diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang engkau
ajarkan kepada seseorang makhluk ciptaan-Mu, atau yang engkau khususkan dalam
rahasia ilmu di sisi-Mu, agar Engkau jadikan AlQur’an ini sebagai penyejuk
hatiku, penghilang rasa sedihku, dan penghapus duka di jiwaku.
2.
Tentang Hubunganmu dengan sesama manusia
Wahai diriku, Rasulullah tercinta pernah berkata kepada
istrinya, aisyah ra, “wahai aisyah, sesungguhnya orang yang kedudukkannya
paling buruk di sisi Allah di hari kiamat adalah, orang yang ditinggalkan orang
lain karena tkut akan kejahatannya”. (HR Bukhari)
engkau mungkin masih ingat hadist ini, karena aku sering
mendengarmu menyampaikanya kepada orang lain, mengajarkannya kepada
teman-temanmu, murid-muridmu, dan kepada siapa saja yang meminta nasehatmu
tentang menjaga kewajiban menjaga hubungan baik sesama manusia.
Lalu pertanyaanku adalah, bagaimana dengan dirimu sendiri?
Maksudku seperti apa muamalahmu selama ini dengan orang lainn. Bagaimana
sikapmu dengan para tetangga? Adakah engkau sudah menjenguk mereka ketika
mereka sedang sakit? Sudahkah engkau membantu temanmu yang sedang kesusahan?
Sudahkah engkau berbuat baik dan menjaga aib temanmu sendiri yang kamu ketahui,
adakah engkau berikan do’a terbaikmu di sepertiga malam untuk
sahabat-sahabatmu? Lalu, Seperti apa pula baktimu kepada orang tua? Mereka semua
adalah orang-orang yang ada di sekelilingmu, yang wajib engkau pergauli dengan
baik.
Beberapa hari yang lalu, sekitar jam lima subuh, kala
engkau melangkah keluar rumah seorang tetanggamu sedang kesusahan, sakit payah
dan di gotong ke mobil untuk di bawa ke
rumah sakit. Namun engkau hanya melihat-lihat sembari menutup pagar, lalu
berlalu tanpa sedikitpun ada sapa dan tanya. Sempatkah engkau berfikir
seandainya engkau yang dalam kondisi itu sedang tetanggamu acuh denganmu,
seperti apa perasaanmu?
Diriku, engkaujuga jarang memperhatikan teman yang sedang
kesusahan. Ketika seorang diantara mereka hendak meminjam uang darimu karena
mendesak, kau katakan kepadanya sedang tidak ada uang. Padahal aku tahu, waktu
itu engkau masih punya uang simpanan. Engkau sulit sekali membantu orang lain.
Satu hari, ketika seseorang meminta sumbangan mengucap
salam di depan pagar rumahmu, aku melihatmu pura-pura tidak mendengarnya.
Horden yang sedikit terbuka, pun segera engkau tutup pelan-pelan agar orang itu
bisa segera berlalu. Tidak hanya sampai disitu kelakuanmu, aku bahkan bisa
merasakan hatimu berbisik, “Ah, paling untuk dirinya sendiri”.
Seburuk itukah engkau sekarang, wahai diriku? Bukankah
engkau hafal banyak dalil tentang keutamaan bersedekah. Apakah kau mengira
bahwa itu semua kau tujukan untuk orang lain, sementara dirimu tidak? Jika
engkau tidak ingin bersedekah, maka berkatalah yang jujur. Jangan pula menambah
keburukanmu dengan prasangka yang tidak baik.
Kepada orang tuamu, engkau puun tidak
memperlihatkanbaktimu. Kau jarang sekali menjenguknya, apalagi meringankan
bebannnya. Bahkan untuk sekedar menanyakan kabar lewat telephone, itupun enggan
engkau lakukan. Engkau banyak meminta perhatiannya untukmu, tetapi sebaliknya,
kau sering melupakannya. Yang ku tahu dari kebaikanmu yang tersisa adalah
do’amu kepada Allah untuk mereka, itupun engkau lakukan saat engkau berdo’a
setelah sholat sebagai pelengkap. Padahal engkau tahu, bahwa berbakti kepada
kedua orang tua akan mengundang keberkahan bahkan menyibak kesulitan.
Wahai diriku, engkau seolah mampu mengatasi masalahmu sendiri, karena itu kau merasa
tidak butuh orang lain. Engkau abaikan mereka dalam hidupmu. Engkau hanya
bergaul dengan orang yang kamu yakin akan menguntungkan dirimu dari sisi
materi. Tinggalkanlah sifat ini, karena hanyaakan merugikanmu sendiri suatu
saat nanti. Perbaikilah hubunganmu dengan sesama manusia. Berkasih sayanglah
kepada mereka, agar Allah dan para malaikat-Nya yang ada di langit sanapun
mengasihimu.
3.
Tentang kondisi hatimu
Bagaimana pula dengan kondisi hatimu ini? Ini pertanyaanku
selanjutnya. Aku menanyakan ini karena kita sama-sama faham, bahwa hatilah yang
paline berperan pada kebaikan dan keburukan seseorang.
Meskipun hati itu ukurannya sangat kecil, tidak lebih
besar dari genggaman sesuap nasi, tetapi perannya sangatlah vital, karena
menjadi kontrol dan kunci keshalihan bagi anggota tubuh secara keseluruhan.
Rosulullah SAW pun mengingatkan, “ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh
terdapat segumpal daging, yang apabila baik,maka baik pula seluruh tubuh itu.
Ketauhilah,ia adalah hati”. (HR Bukhori, Muslim)
Hati itu, wahai diriku,sangat mudah dihinggapi segala
macam penyakit, yang disebut dengan maksiat-maksiat hati. Penyakit ini tidak
tampak oleh mata dan tak ada yang dapat mengetahuinya selain Allah SWT.
Penyakit ini juga tak dapat diintai oleh Syetansehingga ia bersorak riang
karena kejelekannya. Dan malaikatpun tak dapat mengetahuinya, sehingga dia
catat keburukan-keburukannya. Yang di catat oleh mereka adalah apa yang mereka
saksikan dari amal perbuatan seorang hamba. Mereka sama sekali tidak mengetahui
niat dan maksud seseorang, jika penyakit-penyakit yang ada di dalam hati, kecuali Allah
menghendakinya.
Saat ini, aku mulai mengkhawatirkan hatimu. Aku takut ia
telah terserang penyakit itu. Sebab tanda-tandanya sudah banyak ku rasakan, dan
aku yakin kaupun merasakan itu. Karenanya, aku ingin mengungkapkan beberapa
fakta agar aku bisa tahu sejauh mana kebenaran duugaanku ini.
Kemaren, engkau baru saja tertimpa musibah, dan aku
melihatmu terduduk lesu sambil meneteskan air mata. Aku tidak menyalahkan sikapmu, karena wajar bagi orang
yang terkena musibah untuk berduka. Yangaku sesalkan adalah, kenapa engkau
tidak bisa mencegah lidahmu untuk tidak mengucapkan kata-kata ketus yang
menyalahkan orang lain. Bahkan engkau merasa bahwa Allah tidak berpihak
kepadamu. Apakah ini pertanda bahwa hatimu sudah mulai bimbang atas kekuasaan
dan kehendak-Nya yang berlaku atas semua hamba-Nya? Apakah kamu juga telah lupa
dengan ayat, “kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah. Dan
keburukan apapun yang menimpamu, itu adalah dari kesalahan dirimu sendiri”.
(QS. An-Nisa: 79)
Sekarang ini, aku juga melihatmu sering iri dan dengki kepada saudara atau
sahabatmu karena kelebihan kepandaian yang mereka miliki, kelebihan harta yang
mereka miliki, kedudukan yang mereka peroleh, atau kedekatan mereka pada
orang-orang yang ingin engkau dekati. Lupakah engkau bahwa itu semmua hanyalah
kesenangan dunia yang bersifat sementara dan mudah lenyap ataupun akan segera
hilang jika Allah menghendaki-Nya? Mengapa dengan Keshalihah orang lain engkau
justru tidak pernah berkaca? Aku tidak pernah melihatmu iri dengan orang-orang
yang banyak menghafal Al Qur’an, orang yang rajin sholat malam, orang yang
sering puasa sunah dalam kesehariannya, orang yang senantiasa bersedekah di
kala luang dan sempitnya,ataupun orang yang senantiasa dapat menjaga pandangan
dan selalu mengingat Allah dimanapun ia berada. Tidak pernah engkau iri akan
hal itu.
Masih banyak kejanggalan lain yang ku rasakan di hatimu.
Ada rasa bangga yang berlebihan, ada kesombongan dan riya; penyakit yang paling
berbahaya itu juga ada. Terlalu banyak kita aku beberkan semua. Karena itu,
mari kita berdoa diriku. Kita memohon kepada Allah agar hati kita dijernihkan
kembali, dari segala noda dan maksiat. “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan
hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu dan ketaatan pada-Mu”.
4.
Tentang sikapmu dengan dunia dan segala kemewahannya.
Wahai diriku, izinkan aku bertanya pada dirimu untuk yang
terakhir kalinya, tentang kesibukanmu mencari dan mengumpullkan harta dan
kemewahan dunia, yang saat ini sering membuatmu risau.
Dalam banyak hal, engkau memang sering terlihat
bersemangat. Termasuk mencari nafkah.
Aku tidak mempermasalahkan yang ini, karena seorang mukmin memang harus tampil
penuh semangat. Akan tetapi yang aku temukan sekarang, gaya hidup dan cara
pandangmu akan perhiasan dan kemewahan dunia mulai bergeser. Engkau menganggap
bahwa segala sesuatu hanya dapat diukur dan diraih dengan harta. Ketenangan
hati dengan harta, kebahagian keluarga dengan harta, segalanya dengan harta.
Pangkat, jabatan, kekuasaan, juga dengan harta. Semua atas dasar harta, itu
yang aku khawatirkan.
Aku juga melihatmu mulai dihinggapi gejala wahn; penyait yang
sangat dikhawatirkan Nabi SAW menimpa kaumnya. Engkau sangat mencintai harta
dan amat takut kehilangannya, sehingga membuatmu terlalu IRIT dan PELIT. Engkau
juga sudah meniru gaya hidup orang-orang yang jauh dari agama, yang dulukau
seru orang-orang untuk tidak terjebak dalam lingkaran mereka.
Pertanyaanku, apakah salah jika engkau memilih hidup
sederhana meskipun berpunya? Apakah engkau khawatir mitra-mitra bisnismu,
musuh-musuhmu, lawan organisasimu, dan orang yang selama ini menyanjung hartamu
akan merendahkanmu? Aku yakin tidak. Bahkan kesederhanaan itu akan melahirkan
Izzah dan kemapanan iman. Rasulullah bersabda, “sesungghynya kesederhanaan itu
bagian dari iman. Sesunggguhnya kesederhanaan itu bagian dari iman”.
Indah sekali ucapan seorang sahabat Amr bin As ra, ”Aku
tidak bosan dengan pakaianku selama masih bisa dipakai. Aku tidak bosan dengan
hewan tungganganku selama masih bisa membawaku. Dan aku tidak bosan terhadap
istriku, selama dia berbuat baik kepadaku. Sesungguhnya, mudah bosann itu
adalah salah satu Akhlak yang buruk”.
Renungkanlah ungkapan ini, wahai diriku. Sebab aku melihat
matamu terlalu cepat silau dengan harta yang banyak. Lekas iri, dengan yang
diperoleh orang lain. Kamu tidak pernah puas dengan apa yang diberikan Allah
untukmu, untuk saat ini. Aku melihat dirimu terlalu berharap terhadap
perbendaharaan dunia. Padahal beberapa tahun
yang lalu, kamu terlihat begitu tawaddu’, rendah hati, dan selalu
berpaling dari jebakan dunia. Tapi kini, entah raacun apa yang telah mengotori
dirimu. Bahkan dalam shalatpun hatimu selalu khawatir jika suatu saat kontrak
kerjamu diputus, nilai ujianmu rendah, teman-teman akan menjauhimu, harta yang
kau miliki akan hilang, atau bahkan kau berfikir bahwa Allah tidak adil bagimu
dengan pemberian yang Allah berikan selama ini dan tidak sebanyak yang lainnya.
Seolah-olah engkau mengira bahwa hidupmu bergantung pada harta yang Allah
berikan kepadamu saja.
Waspadalah dengan sihir dunia, janganlah ia sampai
menghinggapi hatimu. Cukup letakkkan di tanganmu saja, agar hidupmu selamat di
dunia dan di akhirat.
Wahai diriku, banyak peristiwa yang telah kita lewati.
Maka rasionalitas kita harus berbicara, naruni harus peka. Setiap kejadian
memiliki memori, setiap perubahan memiliki makna; hanya bagaimana kita menerima
semuanya itu dengan akal dan hati. Kita harus bisa menjadi pengatur yang baik
bagi diri kita sendiri. Bukan diatur
oleh keadaan yang selalu berubah.
Wahai dirku, kiranya sampai disini dulu
pertanyaan-pertanyaanku. Ini semua tidak aku maksudkan untuk menyudutkanmu,
melainkan karena aku begitu mencintaimu. Sebab, keselamatanmu, adalah
keselamatanku. Keselamatan kita bersama. Aku tahu, ada banyak petikan kata yang
menusuk hatimu, bahkan mungkin membuatmu meneteskan air mata. Namun apa guna
iitu semua, kalau tidak ada perubahan yang bisa kau tunjukan padaku. Satu
rokaat sholat Tahajjud dan witir yang kau biasakan dalam setiap malam yang kau
lewati, lebih mulia di sisi Allah daripada kerja kerasmu menghimpun dunia dan
segala isinya. Satu lembar Al Qur’an yang kau baca setiap harinya, lebih Allah
cintai daripada beribu-ribu lembar rupiah yang engkau tumpuk di Bank. Sepotong
roti yang engkau sedekahkan lebih Allah senangi dari segunung emas yang kau
kumpulkan. Satu Jam waktu yang kau sisihkan untuk memperjuangkan dakwah dan
Agama Allah, lebih berarti daripada seratus tahun usia manusia yang hidup di
dunia.
Wahai diriku, janganlah engkau pernah merasa sendiri dan
sepi dalam hari-harimu. Ada banyak sahabat yang akan mengisi hari-harimu dengan
canda dan tawanya, ada Allah yanga akan selalu menjaga dan melindungi dalam
lelap dan jagamu, ada Alqur’an tempat engkau mengisi waktu luang dan sepimu,
ada Sholat malam yang akan membawamu berinteraksi dengan Allah saat masalah
silih berganti menghampirimu, lalu apa lagi yang engkau khawatirkan wahai
diriku?
Kembalilah kepada hakikat diciptakannya dirimu oleh
tuhanmu, bukan untuk menumpuk harta, bukan untk mengejar popularitas dan
jabatan, bukan pula untuk menjadi manusia yang lupa akan kewajiban sebagai
hamba di hadapan tuhan-Nya.
Semoga
Allah menyelamatkan kita, wahai diriku.,.. Amiin...
Alfan D’Ikhwan
Departemen Syiar Dan Pelayanan Kampus FKII Asy-Syams Uin
Suska Riau
** FSI AN-NAHL UIN”13 **
Tags: Cerita Inspiratif, Cerpen, Hikmah
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!