Sabtu, 09 Maret 2013

Cerpen : Surat Terakhir Evan, 21-05-2012

Diposting oleh wahyu_alfatih at 20:59
Oleh : Saprol Masykur
Dia...!!!
Pandanganku menembus lurus kaca kantin sekolahku dan terus menembus kaca samping sebuah ruangan yang letaknya berdampingan dengan Kanjur (nama kantin sekolahku) itu. Lama tak kujumpai sosok rupawan itu, walau hanya dalam mimpi. Tapi kini… hari ini… detik ini… kulihat pemilik wajah teduh itu tengah duduk sendiri di sudut ruangan dimana di tempat itu takdir mempertemukan aku dan dia, dan semua kenangan indah yang dia goreskan dihari-hariku… sebelum akhirnya waktu merubah segalanya.

“Evan? Itu… Evan kan, Pi?” suara Intan membawaku kembali ke alam sadarku. Menyadarkanku bahwa kali ini Evan benar-benar nyata adanya.
“Kalo gitu nanti aja kita jajannya. Sekarang kita samperin Evan, yuk!” belum sempat otakku mencerna perkataannya, Intan sudah menyeretku sampai di depan pintu ruang radio untuk menemui Evan. Dan ketika Intan meraih gagang pintu itu…
“Aku gak mau ketemu dia, Tan!” kataku pelan tapi tegas, kemudian berlalu pergi meninggalkan sahabatku itu.

***

Aku duduk termenung sendiri di teras depan kelasku. Sepi semakin menyelimuti hatiku. Aku sangat menyesali hari ini, “Kenapa hari ini guru-guru malah pada workshop sih?” keluhku dalam hati.
Aku bukanlah siswa yang rajin. Justru aku sangat mengharapkan saat-saat guru tidak ada di kelas ketika jam pelajaran. Tapi hari ini aku merindukan kehadiran mereka… bukan… lebih tepatnya aku butuh mereka untuk membuat pikiranku terfokus pada semua hal yang mereka ajarkan , yang setidaknya dapat mengalihkan perhatianku akan semua hal tentang Evan walau hanya untuk sekejap.
….
andaikan ku sanggup untuk
memutar kembali waktu
tak pernah sekejap pun
ku alihkan engkau dari perhatianku…
Alunan musik terdengar dari speaker yang ada disetiap kelas di sekolahku. Aku tahu, seseorang di ruang radio yang memutarnya. Hanya satu lagu itu saja yang masih mampu ku cerna dalam otakku. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa lagu itu mampu menggali semua ingatanku tentang kak Evan. Ya, kak Evan. Karena dia satu tingkatan diatasku. Dan terhitung sejak detik ini… tinggal menghitung hari saja untuk mengetahui kenyataan bahwa ia resmi dinyatakan sebagai alumni SMANDA.
Senyum sapaan yang begitu lembut saat pertama kali kusadari bahwa ada senior ekstrakulikuler radio yang setampan dia, merasuki alam bawah sadarku tanpa permisi. Lalu digantikan dengan serangkaian adegan setiap kali kita berjumpa. Entah itu saat kumpul ekskul, atau ketika berpapasan di jalan, bahkan saat berjumpa di Masjid sekolah.
Sampai suatu ketika, ia tiba-tiba muncul dan duduk manis disebelahku. Saat itu, untuk pertama kalinya dia bicara padaku, “Kamu siapa tuh namanya? Kakak lupa.” Katanya lembut.
“Mm.. kakak bisa panggil aku, Pia!” kataku sambil menahan tawa. Karena sebenarnya aku ingin menjawab, “Kakak sih bukannya lupa, tapi emang gak tau namaku!”

***

Semua adegan-adegan dimana ada aku dan Evan sebagai tokoh utamanya, berseliweran dibenakku. Memaksaku untuk mengingat semua hal tentang Evan yang tanpa sadar terekam dalam memori ingatanku. Sampai tiba-tiba…
“Pia, lo kenapa? Pia! Pi, sadar Pi!” aku dapat merasakan seseorang mengguncang-guncang tubuhku. Aku tersadar dari lamunan dan langsung memeluk erat sahabatku.
“Pi, lo kenapa? Ada apa? Kalo ada masalah cerita sama gue! Lo tau gak sih, gue cemas banget pas ngeliat ekspresi lo yang tadinya ngelamun sambil senyum-senyum… tau-tau malah ngeluarin air mata gitu...” Intan begitu memperdulikanku.
Perlahan, kulepaskan pelukanku darinya. Lalu aku menyeka air mataku, dan menatap lekat mata sahabatku.
“Sini, sambil duduk ceritanya!” Intan menarikku duduk disampingnya.
“Tan, aku… aku inget semua hal tentang Evan…” aku menarik napas panjang, lalu… “Semuanya begitu indah, sampai saat aku tau… dia nge-remove aku dari pertemanan Fb-nya dan…”
“Dan dia nge-delete nomer hp lo dari kontak hp-nya?! Sampe-sampe waktu lo ngucapin happy birthday ke dia, dia gak ngenalin nomer lo?!” Intan begitu saja memotong ceritaku. “Cemon, Pia sayang… tanya hati lo! Kalo lo suka ya bilang suka… kejar dia! Katakan padanya!”
“Tapi Tan, masalahnya gak semudah itu! Bayangin kalo kamu jadi aku! Beberapa bulan terakhir ini kak Evan tuh kayak ngehindarin aku… kayak gak mau kenal lagi sama aku. Bahkan, diluas sekolah yang cuma segini-gininya aja susah banget buat aku bisa ngeliat dia! Dia ngejauh gitu aja tanpa sebab yang jelas. Aku jadi ngerasa bersalah sama dia… tanpa pernah aku tau sebenarnya apa salahku sampe dia selalu nyuekin aku, nge-remove aku dari Fb-nya, nge-delete aku dari hp-nya! Arrrrgh…” aku merasa diriku mulai kehilangan kendali.
“OK, gue ngerti perasaan lo, Pi! Tapi lo harus ngelurusin masalah ini. Selagi dia ada dan lo bisa melihatnya… tunggu apa lagi? Kejar dia! Tanyakan padanya… dan nyatakan padanya tentang semua hal yang selama ini mengganggu hati dan pikiran lo! Jangan sampai semuanya terlambat… dan lo akan menyesal nantinya.”

***

Aku berlari menyusuri koridor sekolah untuk mencarinya… di ruang radio… di kelas tempat dia mengukir kisah bersama teman-teman seperjuangannya… dimana-mana… tak kutemukan juga wajahnya.
Sampai akhirnya kulihat wajah itu dari kejauhan. Sebuah wajah yang sudah sejak lama bersemayam dihatiku. Dia melihat ke arah ku… dan tersenyum manis padaku… senyuman yang selama ini aku rindukan.
Dia tengah berdiri di sana…
Di dekat tiang bendera itu…
Tanpa membuang waktu lagi, segera kuhampiri dia. Aku tak ingin dia pergi lagi… setidaknya, aku tidak ingin dia pergi sebelum dia tahu bahwa aku menyukainya, menyayanginya, bahkan mencintainya tanpa syarat. Dan yang terjadi saat ku dapat melihat sosoknya berdiri tegak dihadapanku, butiran-butiran bening ini tak dapat tertahan lagi. Aku benci menangis dihadapannya… tapi itulah yang saat ini kulakukan.

***

“Kak Evan jahat!Kemaren-kemaren kemana aja kak? Fb-ku kakak remove, nomerku kakak delete, tiap ketemu di ekskul aku dianggep kaya benda mati, terus tiap aku sapa kakak malah melengos! Apa salah aku, kak?” kupukuli dadanya yang bidang dengan kedua tanganku. Aku tidak peduli dia merasa kesakitan atau tidak. Aku pun tidak peduli kalau seandainya saat ini aku dan dia tengah menjadi tontonan seluruh penghuni sekolah.
“Kenapa kemaren-kemaren kakak tiba-tiba seperti membenci aku? Tiga bulan kak, segala macam cara udah aku lakuin untuk cari tau apa salah aku, dan minta maaf sama kakak… tapi kak Evan gak pernah hargai usahaku.” Aku tak memberikan sedikit pun kesempatan padanya untuk berbicara. “Sampai aku lelah dan mencoba tuk benar-benar pergi dari hadapan kakak… karena aku pikir… mungkin itu yang kakak inginkan.” Kini, hanya isak tangisku yang terdengar.
Dalam tangisku, dapat kudengar dengan jelas desahan napasnya… begitu lembut. Lalu kurasakan sentuhan hangat tangannya dibahuku.
“Jangan… aku mohon kamu jangan pergi! Kamu salah paham, Pia. Kemarin, kakak seperti itu ada tujuannya… tapi sekarang, kakak sadar… kalau cara kakak ngehindarin kamu selama ini, itu salah. Maaf… karena kakak tidak pernah berpikir bahwa semua ini dapat melukai perasaanmu… asal kamu tau, kakak pun terluka…” kata sebuah suara yang sudah lama tak ku dengar.
“Kakak… kakak udah tau semuanya dari Intan!” Kurasakan jemari tangannya mengankat daguku, memberi isyarat agar aku menatap wajahnya.
“Kakak udah tau tentang perasaan kamu…” tatapannya begitu mempesona. “Kakak senang mengetahui hal itu… karena… kakak juga… cin-ta, sama ka-mu.”
Aku tercengang kaget sekaligus bahagia mendengar pengakuannya. Sampai-sampai suaraku tertahan ditenggorokan. Aku ingin meneriakkan kata, “yeeyyy!” tapi tak bisa. Aku hanya bisa terdiam dan memandangi wajahnya penuh cinta.
Ku lihat senyuman itu lagi dan lagi menghias dibibirnya. Kurasa… hari ini senyuman itu tampak berbeda… jauh lebih manis dibanding biasanya.
Namun tiba-tiba…
“Pia, awaaaas!” Kurasakan tubuhku berguling diatas susunan batako lapangan upacara sekolahku. Aku mencoba bangkit dan mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Evan?” tiba-tiba aku teringat dia. Suaranyalah yang terakhir kudengar sebelum akhirnya dia mendorong tubuhku sampai aku tersungkur.
“P..Pia!” Kudengar suara Evan begitu lemah. Kubalikan badanku mencari sosok yang baru saja menyebut namaku.
“Evaaan!” aku berteriak keras, lalu menghampiri kerumunan beberapa orang yang sedang mencoba menyingkirkan tiang bendera yang terbuat dari besi setinggi 3 meter dan seberat 150 kilogram itu dari tubuh Evan.
“Evaan…” ku letakkan kepalanya yang bersimbah darah itu dalam pangkuanku.
“Ka…kamu ja-ngan nangis… ukhuk-ukhuk” dia berusaha keras untuk mengatakan hal itu, walau harus terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. “Aku senang liat ka… kamu baik-ba-ik aja. Bb…buat aku, a…a-sal kamu a-da dan a-ku bi-sa me-li-hatmu… i-i-tu sudah cu-kup.” aku dapat merasakan dari suaranya, betapa dia sedang menahan sakit yang teramat sangat, saat ini.
Dengan air mata yang menggenang dipelupuk mataku, samar-samar masih dapat kulihat usahanya untuk meraih sesuatu yang ada di saku kiri jaketnya. Dia mengeluarkan selembar kertas dan memberikannya kepadaku. Bahkan dia sempat memintaku untuk tidak membaca surat itu sampai pada tanggal, bulan, dan jam yang sama… tahun depan.
Dan tak pernah kuduga sebelumnya… bahwa itu permintaan pertama sekaligus terakhir darinya. Kulihat ia memejamkan matanya. Terlihat jelas bahwa ia sangat bahagia sekarang. Senyuman itu mengiringi kepergiannya. Membuat air mataku yang semula hanya tertahan dipelupuk mata ini, jatuh mengalir bak aliran sungai. Tapi… asal dia bahagia, aku rela melepasnya.
Aku berjanji pada diriku untuk selalu mengingat hari ini. Hari yang menjadi puncak penantian cinta pertamku. Dan yang akan selalu ku ingat tentang dia adalah… 7/4 tahun kebersamaan, seulas senyuman, setitik harapan, 3 bulan penantian, 1 hari penuh makna, 1/6 jam jadian dan 540 detik tersisa sebelum perpisahan merenggut jiwanya.

***

Dear, Silvia Novianti…

Hari ini hari Senin ya?
Kalo gak salah sekarang tanggal 21 Mei 2012 kan? Kalo dibikin angka, jadinya 21-05-2012… 20 bulan 12 kan tanggal lahir aku… kalo 21 bulan 5 tanggal lahir kamu kan? Berarti hari ini donk? Happu Birthday ya Pia. Maaf ya, kakak gak sempet cari kado buat kamu!
Tapi… kakak punya sesuatu yang lebih special buai kamu, lebih dari sekedar kado dan kamu gak akan pernah bisa ngelupain hari ini. Karena, sesuatu yang special itu adalah…
Kakak bakal nyatain perasaan kakak ke kamu hari ini. Dan menjadikan hari ini…
Senin, tanggal 21-05-2012 jam 12:05:12 sebagai hari jadian kita. Kakak udah tau kok, kalo kamu juga suka sama kakak. Intan barusan yang ngasih tau kakak. Jadi, kakak gak akan pernah lagi ngehindarin kamu.
Oh ya, Pi, kakak juga mau minta maaf kalo selama ini udah bikin kamu bingung sama sikap kakak yang selalu ngejauhin kamu… yang belakangan ini suka bikin kamu kesel dan kecewa… Kamu perlu tau Pi, kamu gak salah apa-apa… yang salah itu aku… aku yang takut kalo-kalo kamu menolak cintaku… jadi selama ini aku memilih untuk menjauh darimu.
Tapi percayalah… mulai saat ini, aku gak akan pernah lagi ninggalin kamu… gak akan pernah jauh dari kamu… karena aku selalu ada dihatimu… dan kamu ada dihatiku… percayalah… bahwa dimana pun aku berada, aku selalu besamamu… dan aku selalu dapat melihat wajah manismu.

Your Sun Shine
Evan Zainal Muttaqin ^ , ^

“Kak Evan, aku baru aja baca surat dari kakak… aku nepatin janji aku kan kak?!” Kataku, pada batu nisan bertuliskan nama seseorang yang sangat aku cintai itu. “Makasih ya kak, kado sweet seventeen tahun lalu… indaaaah banget, walau kakak gak bisa terus menemaniku merasakan keindahan itu!” Kurasakan mataku mulai memanas.
“Mm… happy anniversary yang ke 1 ya kak! Baik-baik disana… tunggu aku!” Kuberikan senyuman terindahku sambil menaburkan bunga dan menyiramkan air di atas pusaranya. “I will always love you and miss you eventought we’re so far apart forever!”
TAMAT…

Sumber : Cerpen Tentang cinta remaja


If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!


Kindly Bookmark and Share it:

YOUR ADSENSE CODE GOES HERE
 

Copyright © 2013-2014. All Rights Reserved | Cerpen-Online.comWahyu

Home | About | Top