Oleh : Trisha Tanisha
Aku
melirik jam tanganku, pukul 12. Ia belum juga datang, berapa lama lagi aku
harus menunggu ? pikirku sambil duduk di tengah-tengah keramaian cafe itu.
Orang-orang muda memenuhi seisi cafe pada jam makan siang itu. Aku meraih tas
coklatku hendak membayar secangkir kopi yang sudah dingin itu, ponselku
berdering. “Halo?” jawabku ketika menempelkan ponsel ke telinga. “Aku tidak
bisa datang, maafkan aku” katanya dengan suara lirih. “Baiklah, sampai jumpa”
jawabku dengan nada seringan mungkin. Aku menyesal untuk menunggunya di siang
bolong seperti ini, seperti aku tidak ada tugas lain yang bisa kukerjakan. Aku
membayar kopi itu lalu pergi dengan perasaan bercampur aduk.
“Hey,
Helen” sapa Edrick dari ujung telepon. “Maafkan aku karena tidak bisa datang
kemarin itu, aku benar-benar tidak sempat kesana. Sungguh, aku minta maaf”
lanjutnya sebelum aku sempat membalas sapaanya. “Tidak apa-apa sungguh, aku tau
kau sangat sibuk belakangan ini, ada meeting baru di restoran? Atau ada apa?”
tanyaku baik walaupun masih ada sedikit kekesalan dalam dada. “Ya, kemarin aku
menggantikan posisi temanku, ia sakit dan ia akan menggantikan shiftku nanti,
namun aku benar-benar minta maaf, Helen” ucapnya. “Iya.. Edrick, nanti
kutelepon kau lagi, aku mau berangkat kerja” jawabku. “Baiklah, sampai nanti,
Helen” katanya dan mengakhiri telepon. Aku berjalan beberapa puluh meter dari
apartemenku ke perpustakaan umum tempat kerjaku, aku berjalan dengan langkah
cepat seperti biasanya dan mampir membeli kopi di tengah jalan ke sana. Aku
menengok ke langit-langit sebelum menuju anak tangga, langit tampak lebih gelap
dari biasanya, mungkin sudah mau hujan.
Aku
menggantungkan jaketku lalu mengenakan kartu tanda pengenal di kemejaku itu,
aku mulai membereskan buku-buku itu, sampai tiba-tiba aku mendengar langkah
sepatu hak mendekat ke meja ku. “Hey Helen” sapa wanita itu. “Hey...?” jawabku
sambil masih memegang setumpuk kertas di tangan kananku. “Aku Mellisa, aku
menggantikan posisi Reny” jawabnya sambil mengulurkan tangan. “Owh, Mellisa..”
aku membalas uluran tangannya. “Kita akan lebih mengenal satu sama lain nanti,
mungkin makan siang?” tanyanya sambil tersenyum. “Baiklah, sampai nanti Mel”
jawabku tersenyum. Aku baru ingat kalau kemarin adalah hari terakhir Reny
bekerja, aku tidak begitu dekat dengannya sehingga aku mudah melupakannya,
Mellisa itu berpostur tubuh langsing, lebih tinggi dariku dan berkacamata
sepertiku. Aku tidak menyangka ia bisa begitu baik mengajakku berkenalan dan
mengajakku makan siang bersama di hari pertama ia bekerja. Ponselku berdering
tanda pesan masuk : Helen, nanti aku akan
menemuimu saat makan siang. –Ed. Aku membalas pesannya lalu mulai kembali
bekerja.
Di
siang sebelum waktu makan siang, perpustakaan cukup ramai, kursi di bagian
dekat meja ku berada terisi penuh, aku meninggalkan mejaku dan pekerjaanku,
mengambil jaketku dan mengenakannya, tepat saat itu Mellisa berjalan kerarahku.
“Ayo kita makan didepan saja” katanya lalu kita berjalan bersama. Tempat makan
didepan itu lebih murah, dan tempat biasa aku makan bersama Ed. Belum terlalu
ramai, mungkin udara angin mau hujan membuat orang malas makan diluar. Dari
kejauhan, aku bisa melihat Ed sudah duduk menghadap kearah berlawanan sambil
membaca koran. Sesampai disana aku langsung berjalan bersama Mellisa ke tempat
Ed berada. “Ed, ini Mellisa dan Mel.. ini Edrick” kataku langsung saat Ed
menyadari aku sudah berdiri didekat mejanya. “Hai Edrick, senang berkenalan
denganmu” kata Mel mengulurkan tangannya sambil tersenyum. “Hey.. Mel. Helen..
aku tidak tau kau membawa seorang teman untuk makan siang bersama kita” kata
Edrick lalu mempersilahkan kami duduk. Aku menceritakan bagaimana Mel bisa
berada disana, dan menggantikan posisi Reny. Sebenarnya, saat itu aku sedikit
berbicara, aku hanya memesan spaghetti favoritku dan menyantapnya, selagi
mereka melahap fetuccini mereka dan membicarakan bagaimana mereka menyukainya.
Ed dan Mel itu seperti kerabat lama yang sudah lama tak bertemu. Aku
seakan-akan orang asing yang berada disana entah mengapa, pertama aku hanya
merasakan ini semua akan baik-baik saja dan kami akan ngobrol seperti layaknya
rekan kerja atau semacamnya, ternyata semua jauh diluar dugaanku. Mereka asik mengobrol
dan aku menikmati angin yang membuat sekujur tubuhku tiba-tiba merinding.
Selesai
makan siang, aku dan Mel pamit pada Ed. Aku bisa merasakan pandangan Ed padaku
begitu dingin dan sepertinya ia tau bahwa aku merasa buruk tadi. Aku kembali
bekerja, namun perbedaannya tepat saat aku kembali perasaanku tiba-tiba panas
dan hujan pun turun. Syukurlah aku sudah kembali saat hujan turun tapi aku
masih merasa tidak enak dan aku merasa ada yang aneh dariku.
Sejujurnya,
aku yakin bahwa Ed sudah lama menyadarinya kalau aku memang menyukai dia
sebagai pria dan bukan teman dekat. Tapi aku masih bingung dengan perasaanya
padaku, aku yakin bahwa dia juga menyukaiku tapi bukan sebagai wanita-nya
melainkan teman dekatnya. Dulu aku dan dia juga masing-masing memiliki seorang
kekasih, hingga lama kelamaan salah satu dari kami putus dan kami tetap menjadi
teman baik. Memang benar, jika aku mau tau bagaimana perasaanya padaku, aku
tinggal bertanya pelan-pelan padanya, tapi aku merasa sangat aneh jika aku yang
harus memulai percakapanya, soalnya dari dulu aku tidak pernah membahas apapun
tentang hubungan aku dan Ed, dan secara tiba-tiba kami menjadi teman dekat
begitu saja, tanpa tekanan atau keharusan. Kami juga saling menghargai satu
sama lain, ketika salah satu dari kami sudah mendapat kekasih, kami harus
menjaga jarak, bukan saling berpisah dan kami juga memiliki waktu untuk saling
curhat tentang segalanya. Dan aku menyukai keadaan itu, sampai pada saatnya ada
Mel yang bisa mengerti Ed, aku tidak begitu yakin untuk kembali ke keadaan itu.
Perkenalan orang yang kita sudah kenal dekat kepada orang yang baru saja kita
kenal belum tentu membawa suatu keberuntungan walaupun hanya dimulai dari
pertemanan. Walaupun hal-hal seperti itu baru hanya terjadi pada jam kami makan
siang, aku merasa sangat aneh dan buruk sampai aku pulang ke apartemenku. Aku
menolak ajakan makan malam bersama Mel dan aku yakin kalau hari ini Ed kerja
lembur sebagai asisten koki. Jadi aku memutuskan untuk tidur lebih cepat dan
memilih untuk tidak makan malam.
“Helen,
kemarin malam aku makan malam bersama Edrick, ia meneleponku karena ia tidak
mau makan sendirian saat itu, dan kebetulan aku juga makan sendirian, jadi aku
putuskan untuk menghampirinya” kata Mel tepat ketika aku masuk ke perpustakaan
sambil menggantung jaketku. Aku merasa ingin meledak merasakan sekujur tubuhku
yang tadi kedinginan menjadi begitu panas dan aku merasakan keringat yang
mengalir di kepalaku. “Owh, kebetulan yang menyenangkan” jawabku dengan senyum
samar dan langsung berjalan pelan ke mejaku. Aku sangat merasa tidak adil,
mengapa Ed bisa berubah sedemikian jadinya? Aku merasa ada yang berbeda dari
Ed, ia kan bisa tidak mengajak Mel dan memutuskan untuk mengajakku untuk
menemaninya, lagipula kami sudah jarang bercerita dan mungkin itu waktu yang
tepat untuk bercerita, malam kemarin. Tapi mengapa ia lebih memilih Mel yang
baru ia kenal kemarin? Apa yang salah denganku? Ia kan tau dimana aku tinggal,
ia bisa datang dan menghampiriku kok. Aku berkesal dalam hati sambil
melanjutkan pekerjaan, namun aku merasa aku bekerja menjadi lebih lamban dan
seakan-akan pekerjaanku belum juga selesai.
Saat itu ponsel ku berbunyi tanda
pesan masuk : Mau bertemu di tempat
biasa? Saat kau istirahat. –Ed . Aku membalas : Sedang tidak enak badan, mungkin lain kali. “Menghindariku?” kata
suara seorang pria yang kukenal jelas. Itu Ed, dihadapanku. Astaga, wajahku
langsung memerah dan adrenalin memainkan tubuhku. Aku sesaat tidak berani
mendongak menatapnya, aku meletakkan ponselku lalu pelan-pelan menghadapnya.
“Ed, mengapa kau ada disini?” aku bertanya dengan suara serak. Astaga aku
serak. “Menghampirimu, Helen..” jawabnya singkat dan ia tetap masih menatapku.
“Kau ada pekerjaan, sebaiknya kau pergi” kataku. “Tidak, aku lembur kemarin dan
aku bisa mengambil waktu istirahat lebih lama saat ini” katanya masih
menatapku. “Jadi, nikmatilah waktu istirahatmu” jawabku lalu memalingkan wajah
kepada tumpukkan buku-buku itu. “Butuh bantuan?” tanyanya lalu melihat
tumpukkan buku itu. “Tidak, terima kasih” “Apa yang terjadi denganmu?” “Tidak
ada” “Kau harus cerita padaku” ia memegang lenganku. “Lepaskan aku” “Beri tau
aku, Helen” “Mengapa kau tidak langsung mengajak Mel saja? Dan tinggalkan aku
dengan pekerjaanku?” jawabku menatap lurus pada matanya. “Kau cemburu?” ia melepas
lenganku. “Apa? Tidak” jawabku. Apakah ia membaca pikiranku? Oh tidak ia pasti
bisa membaca perasaanku.. astaga apa yang terjadi. “Kejadian kemarin itu?”
tanyanya. “Kejadian apa?” tanyaku kembali berpura-pura tidak tau. “Aku datang
ke apartemenmu untuk mengajakmu makan malam setelah aku pulang lembur tetapi
tak ada jawaban, aku menelepon ponselmu untuk memastikan kau baik-baik saja
tapi hanya kotak suara yang masuk, apakah itu yang perlu kau ketahui?”. Aku
merasa semua pertanyaan yang kau pertanyakan saat itu sudah terjawab seketika.
“Akhirnya aku makan malam dengan Mel karena aku hanya mau ada yang menemaniku,
dan aku terus-menerus membicarakanmu, bagaimana keadaanmu, dan aku tau kau
menolak ajakan makan malam Mel kemarin itu, lalu keadaan menjadi canggung lalu
aku memutuskan untuk pulang cepat, dan aku juga khawatir dengan keadaanmu jadi
aku menghampirimu saat ini namun kau menghindariku” jawabnya melengkapkan
semuanya. Ternyata ia mencariku? Ternyata kemarin ia datang menemuiku? Ternyata
kemarin ia meneleponku ketika aku mematikan ponselku? Astaga, aku merasa buruk
lagi. Apakah aku yang salah? Dan apakah benar ia membicarakan aku dengan Mel?
Sejak
Ed mengatakan hal itu padaku, mataku menjadi lebih terbuka, aku menyadari
hal-hal tersebut terlambat. Lebih baik terlambat daripada tidak tau sama
sekali. Berbulan-bulan berjalan dengan cukup baik, Ed tau bahwa aku
menyukainya, dan ia berusaha untuk lebih mempedulikan aku saat kami makan siang
bertiga dengan Mel. Aku mulai bisa mengendalikan perasaanku dan berusaha lebih
terbuka terhadap Ed atas apapun, apa
yang aku rasa belum mengerti, aku harus mengutarakan pikiranku langsung
kepadanya. Walaupun ia sudah mengenal aku lama, dia juga manusia yang
menggunakan otak untuk berpikir, bukan membaca pikiran atau perasaanku, yah
walaupun begitu, terkadang ia bisa menebaknya dengan benar, dan aku
menyukainya. Ya, aku benar-benar menyukainya, ia pria yang aku sukai.
Malam
ini kami berdua libur, perpustakaan umum itu ditutup selama 3 hari, dan
restoran itu tutup selama 1 minggu dalam rangka perayaan hari paskah. Aku pergi
ke apartemen Ed menggunakan sepasang boots pendek dengan jas putih yang baru
kubeli kemarin. Ed akan memasak untuk perayaan malam ini. Aku benar-benar tidak
sabar setelah berbulan-bulan lamanya tidak menikmati masakannya. Ia memasak 3
hidangan, pie, salad dan sup. Dan yang paling enak? Ketiganya. Setelah makan
malam yang begitu mengenyangkan, ia mengambil gitarnya. Ia menyanyikan sebuah
lagu. “Kau pasti akan menyukai ini, Helen Howard.”
Ohh.. my Helen... I knew the first
time we met. You’re there reading a book. And I look at your eyes. There’s
something about it that makes me smile. We have our great love story of our
own. We are different, we’re not the same. But you always makes me smile. Each
time, each day, anytime you’re there for me. You’re trying to complete
yourself. Try to be yourself. And I know that you love me, but you don’t know
whom I love. So I’ll tell you now..., Would you like to make our own love
story......?
If you enjoyed this post and wish to be informed whenever a new post is published, then make sure you subscribe to my regular Email Updates. Subscribe Now!